"REFLEKSI"

Semangatku pada Ayunan Cangkul Bapak

“Le… sekolah sing tenanan! Ora usah mikir ragat, arepo kahanan keluargo ndeso koyo mangkene, nanging saksuwene Bapak isih kuat nyabetne garan pacul iki, kowe ora usah kemrungsung. Sing penting kuliah sing temen,”  kata Bapakku.

Kutipan pembicaraan di atas disampaikan oleh bapak tepatnya dua tahun yang lalu ketika obrolan kami memecah keheningan desiran hembusan angin di pematang sawah pojok dusun di daerah perbatasan Jawa Timur. Sambil menghela napas panjang dan mengusap buliran keringat di dahinya dengan suara yang lirih dan samar-samar, tetapi penuh dengan keyakinan mampu menguatkanku untuk senantiasa semangat dalam perjuangan karir ini.
Ya, siapapun pasti akan merasakan hal yang sama ketika seseorang yang paling berarti dalam hidupnya mengucapakan kata yang sedikit kontra dengan keadaan sebenarnya untuk memberi dorongan pada kita untuk pantang menyerah. Realita pada kehidupan bapak di atas sebenarnya hidup tak sekaya kata-kata yang dilontarkanya. Beliau hanya petani desa yang punya mimpi  besar akan perubahan pada generasi setelahnya, yaitu aku, anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki. Bapak tak punya apa-apa dibalik semangat akan harapannya tersebut,  kecuali cangkul yang setiap habis Shubuh telah mulai terpanggul di pundaknya untuk menggarap sebidang sawah milik desa yang diolahnya. Bapak sudah berkepala tiga, tetapi tubuhnya masih perkasa jika hanya untuk mengayunkan cangkul hingga menjelang Maghrib. Jarang beliau mengeluh akan itu, terlebih rasa lelahnya kepadaku. Dia selalu menunjukan sosok perwira yang gagah dan bersemangat meskipun sebenarnya aku tahu dan miris hatiku jika mendengar cerita ibu bahwa ketika larut malam tiba dan semua mata kecil mulai terlelap, bapak mengadu pada ibu betapa lelahnya dia hari ini. Persendianya nyeri, tangan dan kakinya pegal-pegal hingga membuatnya susah memejamkan mata. Namun, karena kesetian dan kasih saying, ibu memijitnya hingga perlahan bapak lupa akan rasa tubuhnya, matanya mulai terkatub. Diantara sadar dan tidak sadar dia selalu berpesan “Bu, jangan sampai anak kita tahu keluhku ini, biarkan langkahnya tidak merasa terbebani”. Napasnya mulai melemah dan ibu pikir bapak sudah tidur, tetapi ketika ibu menyelimutkan selembar kain tebal di tubuhnya,  dalam mata terpejam bapak masih menyampaikan pesan yang tertinggal. “O... iya Bu, bangunkan saya  ketika adzan Shubuh berkumandang. Jangan telat lagi! Sehabis sholat cangkul sepertinya minta diasah,” pesannya dengan suara yang hampir tak terdengar. Mendengar cerita ibu,mata ini berkaca-kaca, Bapak yang senantiasa tanpa lelah memanggul cangkul untuk  impiannya tentang masa depanku. Namun, terkadang kita terlupa dengan perjuangan ini.  Meski tanpa mengesampingkan ego yang ada dalam setiap diri manusia, terkadang amanah orang tua itu sering kita abaikan dan itu kita lakukan dalam keadaan yang sadar, sedikit membelokkan pemahaman dengan berbagai alibi untuk mempersempit ruang dosa dan penyesalan dalam peritiwa itu, menurut kita..

Hedonisme merambah dalam kultur kebiasaan mahasiswa, berhura-hura dengan uang saku kita, jika habis nanti minta lagi pada orang tua dengan alasan ini itu. Ya tugaslah, photocopy lah, berjuta alasan untuk mengerucutkan pada tujuan itu. Tugas utama untuk menuntut ilmu pun terkesampingkan. Pemaknaan arti jadi keliru, mahasiswa dengan lantang mengatakan “Saya disini untuk kuliah”. Ya sekadar kuliah, duduk dalam ruangan, dengarkan penjelasan dosen yang membosankan, pulang kos,tidur, begadang, nongkrong, pacaran, dan kembali kuliah lagi, seperti itukah? Menangislah bapak jika tahu cucuran keringatnya untuk kuliah, anaknya hanya seperti itu. Namun, itu hanya mayoritas kenyataan meski ada beberapa gelintir mahasiswa yang paham dengan arti menuntut ilmu yang sebenarnya sehingga tak pernah merelakan secuil semangatnya untuk setiap langkahnya tercecer sia-sia. Dia hanya merelakan jika semangatnya tertular kepada kawan, sahabat, saudara, adik-adiknya, dan siapapun yang sadar akan arti sebuah perjuangan. Sekarang tergambar jelas dari dua realita di atas dan coba untuk menentukan pilihan. Pahamilah arti  semangat menuntut ilmu biar bapakmu tak lagi lesu. Ilmu berada di mana-mana. Di buku, organisasi, dan diskusi jadi ajang ilmu yang perlahan terlupakan dari benak mahasiswa. Saatnya bagi saya, kamu, dan kita semua yang mengatasnamakan dirinya sebagai mahasiswa, perubahan itu nomor satu, ubahlah dunia mulai dari diri kita. Semangat untuk terus berusaha itu jangan pernah hilang meski terkadang surut kembali. Ingatlah cangkul bapakmu yang mengakanginya di perjalanan usia yang semakin renta maka pasanglah semangatmu kembali! Percayalah bahwa semangat itu akan mengukir sebuah perubahan!

Untuk rubrik refleksi majalah MOTIVASI edisi 38 th 2011

Komentar

Postingan Populer