“Model Pembelajaran
Sejarah berbasis Nilai-nilai Serat Wicara
Keras (SWK)”
oleh : Djoyo Bolodewo
“ Bersama-sama
kita ketahui akan kondisi pendidikan di negeri tercinta ini, seakan memupuskan
setiap semaian harapan akan pencerahan justru terjerumus kedalam kegelapan. Padahal
masa depan menuntut untut senantiasa diperjuangkan. Bukan tanpa perjuangan,
semua pihak yang merasa bertanggung jawab mencoba menawarkan solusi terhadap
permasalah bersama ini. Dan ini hanya bagian dari tawaran itu, boleh?”
Pendidikan memegang peranan penting dalam perjalanan
suatu bangsa dan peradaban,karena melalui pendidikan yang tepat terciptalah
generasi unggulan penerus tonggak estafet pemimpin bangsa. Indonesia merupakan
Negara yang menitikberatkan perhatianya kepada kemajuan pendidikan. Hal ini
tertuang secara umum dalam dalam pembukaan UUD 45 alinia V :
“ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa,…..”.
Pernyataan diatas menunjukan betapa inginya Indonesia
berperan serta menyumbangkan generasi yang cerdas untuk mewujudkan
kesejahteraan umum bagi masyarakat Indonesia. Lebih lanjut mengenai cita-cita
tersebut diatur dalam penjabaran pasal-pasalnya, yaitu pasal 31 ayat 1-5. Dalam
penjabaranya menitik beratkan pada terselenggaranya pendidikan yang dapat mencerdaskan
kehidupan bangsa. Bentuk keseriusan negara ini dalam mencapai tujuan nasional
pendidikan adalah dengan pengalokasian danapendidikan yang mencapai 20 % dari
APBN seperti yang termaktub dalam ayat 4 :
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
20 % dari Anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional.”.
Dengan anggaran yang besar maka Negara berharap proses
pelaksanaan pendidikan dapat berlangsung dengan baik dan tujuan dapat tercapai.
Demi tercapainya tujuan pendidikan nasional yang dicita-citakan diatur dalam pasal 3 UU Nomor 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi
mengebangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional, pemerintah merancang sebuah desain sistem
pendidikan nasional yang dituangkan dalam sebuah perencanaan yang dikenal
dengan kurikulum. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 19 disebutkan bahwa
kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.Sejak tahun 1947 hingga tahun 2013,
kurikulum di Indonesia telah banyak mengalami penggantian dan penyempurnaan
berupa tujuan, isi, dan bahan pelajaran.
Berdasarkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah, sejarah merupakan salah satu cabang ilmu
pengetahuan yang menelaah tentang asal usul dan perkembangan serta peranan
masyarakat pada masa lampau berdasarkan metode dan metodologi tertentu (Aman
2011:13). Pendidikan sejarah merupakan salah satu subtansi yang termuat dalam
standart kurikulum Indonesia. Sejarah menjadi salah satu bagian untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional melalui pengalaman sejarah yang diajarkan. Dalam UU
No. 16 tahun 2007 tentang satndar Kualifikasi Akademik Kompetensi Guru
dijelaskan pemahaman kompetensi professional bagi guru sejarah. Pertama, guru
sejarah harus mampu memahami hakikat keilmuan sejarah secara mendalam. Kedua,
guru sejarah dituntut untuk mampu melakukan penelitian sejarah dan
mengembangkan keilmuanya. Ketiga, guru sejarah harus mampu menguasai berbagai
materi dari peristiwa sejarh ditingkat nasional dan local. Keempat , guru sejarah
harus mampu mengambil makna dan nilai – nilai dalam berbagi peristiwa sejarah.
Dengan demikian seorang guru sejarah harus mempunyai kemampuan yang meliputi
berbagai aspek baik penguasaan materi, metode mengajar dan pemahaman nilai
sehingga akan menciptakan suasana belajar yang baik dan tujuan tercapai.
Dalam hal ini guru
memegang peranan penting dalam menyampaikan materi sejarah menjadi menarik dan
dapat dipahami oleh siswa. Namun
permasalahan umum di dunia pendidikan Indonesia bahwa guru khususnya
guru sejarah dalam mengajar kurang inovatif menyajikan materi. Sehingga
pelajaran sejarah menjadi semacam pelajaran hafalan yang tidak mempunyai nilai.
Anggapan tersebut muncul dalam paradigma sebagian besar siswa pada suatu
sekolah, hal ini terjadi karena guru belum tepat dalam menggunakan metode dan
model pembelajaran yang baik. Pembelajaran sejarah di sekolah seringkali
terdengar sangat membosankan. Mengatasi masalah ini, guru sejarah dituntut
untuk lebih kreatif dalam pembelajaran sejarah. (Heri. 2014 : 75). Tidak
mengherankan bila dalam pengajaran muncul ketidakpahaman siswa terhadap materi
yang mereka pelajari.
Dari segi metode mengajar yang digunakan oleh guru
juga turut mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran. Sering seorang guru
salah dalam memilih metode yang akan digunakan untuk mengajar sejarah.
Kekeliruan metode pembelajaran sejarah yang dikembangkan oleh guru disebabkan
oleh faktor: (1) padatnya materi pelajaran sehingga memungkinkan untuk
mengambil jalan pintas, berarti mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik; (2)
guru tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk membelajarkan sejarah
yang dapat menarik minat siswa; dan (3) guru cenderung menggunakan satu metode
dalam membelajarkan keseluruhan materi, tanpa mempertimbangkan karakteristik
dari setiap topik materi yang disampaikan. Kekeliruan dalam pembelajaran
sejarah semakin mendapat penguatan karena pilihan pekerjaan menjadi guru
sejarah bukan panggilan moral, tetapi hanya ingin cepat mendapat pekerjaan. Ada
empat komponen yang saling berkait dan menjadi penyebab munculnya masalah dalam
pembelajaran sejarah, yakni: (1) tenaga pengajar sejarah yang pada umumnya
miskin wawasan kesejarahan karena ada semacam kemalasan intelektual untuk
menggali sumber sejarah, baik berupa benda-benda, dokumen maupun literatur.
Pengajar sejarah yang baik adalah mereka yang mampu merangsang dan
mengembangkan daya imajinasi peserta didik sedemikian rupa, sehingga cerita
sejarah yang disajikan menantang rasa ingin tahu; (2) buku-buku sejarah dan
media pembelajaran sejarah yang masih terbatas; (3) peserta didik yang kurang
memberikan respons positif terhadap pembelajaran sejarah; dan (4) metode
pembelajaran sejarah pada umumnya kurang menantang daya intelektual peserta
didik. (http://herni-n10tangsel.blogspot.co.id/2010/08/inovasi-metode-pembelajaran-sejarah.html
diakses 18-1-2016)
Sistem pembelajaran sejarah yang dikembangkan
sebenarnya tidak lepas dari pengaruh budaya yang telah mengakar. Model
pembelajaran yang bersifat satu arah dimana guru menjadi sumber pengetahuan
utama dalam kegiatan pembelajaran menjadi sangat sulit untuk dirubah.
Pembelajaran sejarah saat ini mengakibatkan peran siswa sebagai pelaku sejarah
pada zamannya menjadi terabaikan. Pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh
siswa sebelumnya atau lingkungan sosialnya tidak dijadikan bahan pelajaran di
kelas, sehingga menempatkan siswa sebagai peserta pembelajaran sejarah yang
pasif. Dengan kata lain, kekurangcermatan pemilihan strategi mengajar akan
berakibat fatal bagi pencapaian tujuan pengajaran itu sendiri (Widja, 1989:13).
Sejarah haruslah diinterpretasikan seobjektif dan
sesederhana mungkin. Ini dapat terlaksana hanya jika guru sejarah memilki
beberapa kualitas pokok. Menurut Kochar (2008:393-395) kualitas yang harus dimilki
guru sejarah adalah penguasaan materi dan penguasaan teknik. Setiap guru harus
sejarah harus memperluas dan menguasai ilmu-ilmu yang terkait seperti bahasa
modern, sejarah filsafat, sejarah sastra, dan geografi. Dalam penguasaan
teknik, guru sejarah harus meguasai berbagai macam metode dan teknik dalam
pembelajaran sejarah. Ia harus menciptahkan suasana belajar yang nyaman dan
menyenangkan agar proses belajar-mengajar dapat berlangsung dengan cepat dan
baik.
Proses belajar yang baik seharusnya mengajak siswa
untuk berfikir dan aktif dalam pembelajaran. Dalam hal ini kemampuan fikir
kritis siswa perlu untuk ditingkatkan melalui sebuah model pembelajaran.
Gunawan (2003:177-178) menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis adalah
kemampuan untuk berpikir pada level yang kompleks dan menggunakan proses
analisis dan evaluasi. Berpikir kritis melibatkan keahlian berpikir induktif
seperti mengenali hubungan, manganalisis masalah yang bersifat terbuka,
menentukan sebab dan akibat, membuat kesimpulan dan mem-perhitungkan data yang
relevan. Sedang keahlian berpikir deduktif melibatkan kemampuan memecahkan
masalah yang bersifat spasial, logis silogisme dan membedakan fakta dan opini.
Keahlian berpikir kritis lainnya adalah kemampuan mendeteksi bias,melakukan
evaluasi, membandingkan dan mempertentangkan. Seorang pengajar yang hanya
mengajarkan tentang fakta tidak menolong muridnya untuk mencapai suatu proses
belajar. (Rooijakkers.1991:110). Dengan hal ini seorang pengajar perlu untuk
mengajak siswa berfikir memecahkan masalah dan membangun pengetahuanya sendiri.
Kemampuan berpikir
kritis siswa sangat
perlu dikembangkan demi keberhasilan mereka dalam pendidikan dan dalam
kehidupan bermasyarakat. Keterampilan berpikir kritis dapat
dikembangkan atau diperkuat, melalui proses
pembelajaran. Artinya, di samping pembelajaran mengembangkan kemampuan kognitif untuk suatu mata
pelajaran tertentu, pembelajaran juga dapat mengembangkan keterampilan berpikir
kritis siswa.
Tidak semua proses pembelajaran secara otomatis akan mengembangkan keterampilan
berpikir kritis. Hanya proses pembelajaran yang mendorong diskusi dan
banyak memberikan kesempatan berpendapat, menggunakan gagasan-gagasan,
memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk
mengekspresikan gagasan-gagasan dalam tulisan, mendorong kerjasama dalam
mengkaji dan menemukan pengetahuan, mengembangkan tanggung jawab, refleksi diri
dan kesadaran sosial politik, yang akan mengembangkan berpikir kritis siswa.
Di samping itu antusiasme guru dan kultur sekolah juga berpengaruh terhadap
tumbuhnya keterampilan berpikir kritis siswa.
Dalam bidang
pendidikan, berpikir kritis dapat membantu siswa dalam meningkatkan pemahaman
materi yang dipelajari dengan mengevaluasi secara kritis argumen pada buku
teks, jurnal, teman diskusi, termasuk argumentasi guru dalam kegiatan
pembelajaran. Jadi berpikir kritis dalam pendidikan merupakan kompetensi yang
akan dicapai serta alat yang diperlukan dalam mengkonstruksi pengetahuan.
Berpikir yang ditampilkan dalam berpikir kritis sangat tertib dan sistematis.
Berpikir kritis merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi yang dapat
digunakan dalam pembentukan sistem konseptual siswa. Selain itu berpikir kritis siswa dapat dikembangkan melalui pemberian pengalaman
bermakna. Pengalaman bermakna yang dimaksud dapat berupa kesempatan berpendapat
secara lisan maupun tulisan seperti seorang ilmuwan Kesempatan bermakna
tersebut dapat berupa diskusi yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan divergen
atau masalah tidak terstruktur (ill-structured
problem), serta
kegiatan praktikum yang menuntut pengamatan terhadap gejala atau fenomena yang
akan menantang kemampuan berpikir siswa. Menurut Zamroni dan Mahfudz
(2009:30) ada empat cara
meningkatkan keterampilan berpikir kritis yaitu dengan: (1) model pembelajaran
tertentu, (2) pemberian tugas mengkritisi buku, (3) penggunaan cerita, dan, (4) penggunaan model
pertanyaan socrates. Dalam penelitian ini bahasan akan difokuskan hanya pada
model pembelajaran.
Untuk
meningkatkan kemampuan berfikir kritis dibutuhkan sebuah model pembelajaran
yang sesuai. Model pembelajaran yang dibangun dengan teori kontruktivisme yang
mengajak siswa untuk menyusun sendiri pengetahuanya. Dalam hal ini model pembelajarn yang digunakan untuk
meningkatkan kemamapuan tersebut yaitu model pembelajaran berbasis masalah. Problem Based Learning (PBL) merupakan pembelajaran terpusat melalui
masalah-masalah yang relevan. Terpusat karena berisi scenario, tema, unit yang
menempatkan kembali pada pembelajaran yang di inginkan. Tujuan dalam proses
pembelajaran ini adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah,
menguraikan masalah dan merevisinya ketika melakukan presentasi sehingga akan
menambah informasi sesuai kompetensinya. Salah satu metode yang tepat untuk
menunjang pendekatan pembelajaran Learner Centered (Student Centered)
dan yang dapat memberdayakan peserta didik adalah metode Problem Base Learning sebagai model dasar pengembangan.
Pengenalan terhadap
sumber sejarah asli kepada siswa juga kurang popular. Selama ini siswa hanya
diperkenalkan buku teks saja sebagai sumber belajar sejarah yang utama. Buku teks merupakan sumber belajar bagi peserta didik.
Guru seringkali sangat terpaku pada satu buku teks dalam proses pembelajaran,
menjadi semacam kitab suci yang sangat penting dipercayai kebenaranya. (Heri.
2014 : 75). Padahal banyak sumber sejarah yang dapat
dijadikan sebagai sumber belajar bagi siswa. Salah satu sumber sejarah yang dapat
diambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan dapat menunjang dalam
meningkatkan kemampuan berfikir kritis siswa namun hampir tidak dikenali oleh
siswa adalah serat wicara keras peninggalan masa kasunanan Surakarta. Serat ini
berisi sebuah pernyataan sikap seorang pujangga terhadap penguasa. Relevan jika
mampu direduksi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan digunakan sebagai
basis pengembangan sebuah model pembelajaran sejarah yang efektif dan
menyenangkan sehingga tujuan belajar dapat tercapai. Sikap kritis siswa yang
berkembang dalam tahapan kemampuan berfikir membentuk seorang mempunyai
kemampuan untuk menyikapi sesuatu dan mengambil sikap terhadap fenomena social
politik yang terjadi. Sebagai salah satu elemen bangsa, seharusnya siswa harus
dapat melihat dan menilai kenyataan yang terjadi.
Oleh karena itu
nilai-nilai dari sumber sejarah lokal diperlukan bagi siswa untuk lebih
mengenali dan menganalisa peristiwa di yang terjadi sekarang dan masa yang akan
datang. Pengajaran sejarah
merupakan sumber nilai dank arena itu memberikan “ moral precepts” yang mengatur/ mengikat kelakuan kelompok
sehingga integritas kelompok terjamin kelangsunganya. ( I Gde Widja, 2005: 56). Kejadian-kejadian
sejarah yang terkadang terdapat penyimpangan-penyimpangan dan yang sengaja
ditutup-tutupi demi kekuasaan.
Kondisi sosial dan
politik di negeri ini menjadi sajian yang selalu menghiasi kehidupan masyarakat
Indonesia tanpa pandang usia. Media elektronik maupun cetak menjadi wahana
dalam menyampaikan kondisi tersebut. Kondisi politik yang terus bergejolak dan
saling tuding turut melengkapi kelakuan negative para wakil rakyat yang semakin
terang-terangan. Kondisi sosial masyarakat yang terbelit permasalahan ekonomi
semakin terabaikan karena sibuknya pemerintah mengatasi permasalahan internal
dan sibuk oleh kepentinganya sendiri. Kondisi seperti ini membutuhkan fungsi kontrol
yang kuat dari semua elemen masyarakat negeri ini. Pemikiran yang kritis
seharusnya tumbuh dan mengintegrasi dalam pola pikir masyarakat, terlebih
generasi muda. Namun dalam kenyataanya pola berfikir kritis mulai pudar.
Apalagi para generasi muda yang mulai digerus oleh budaya globalisasi sehingga
semakin menjauhkan mereka dari kepekaan terhadap gejala sosial yang terjadi
dilingkungan sekitarnya. Oleh karena itu pola berfikir kritis harus ditumbuhkan
dan dikembangkan kepada masyarakat Indonesia mulai dari mereka yang masih muda.
Dengan kemampuan berfikir kritis inilah maka pelaksanaan pemerintahan
demokratis yang mensejahterakan rakyat dapat terkawal dengan baik.
Dari permasalahan
diatas peneliti berusaha untuk meningkatkan kemampuan berfikir kritis siswa
dengan memanfaatkan sumber belajar dari nilai-nilai yang terkandung dari sumber
sejarah lokal Surakarta yaitu sumber tertulis peninggalan para
pujangga-pujangga keraton di masa lalu. Sumber sejarah yang dijadikan bahasan
disini adalah serat wicara keras.
Serat merupakan hasil karya sastra para pujangga Istana. Dimana dikatakan bahwa
perkembangan sastra di Surakarta pada awal abad ke-19 berkembang dengan pesat.
Naskah yang digunakan yaitu naskah serat jawa peninggalan masa Paku Buwana IV
yang ditulis oleh pujangga Kasunanan Surakarta yaitu Yasadipura II, serat
tersebut berjudul “Wicara Keras”.
Dipilih serat ini karena didalamnya terkandung nilai sejarah yang luhur. Serat
ini berisikan kritik politik pujangga terhadap raja dan penguasa yang dianggap
menyeleweng sehingga kurang mensejahterakan rakyat. Kritik dalam serat ini
disampaikan dengan cara yang baik melalui sajian tembang macapat, sehingga
terkesan lembut meskipun pedas.
Referensi :
Aman, 2011. Model
Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Jogjakarata : Ombak.
Kochhar,S.K (2008). Pembelajaran Sejarah Teaching of History. Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia.
New Merah Putih. 2009. Amandemen UUD 1945.Jogjakarta :Galang Press.
Rooijakkers, AD. 1991. Mengajar Dengan Sukses. Jakarta :PT.Grasindo.
Widja, I Gde. 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Yogjakarta: Graha Ilmu.
(http://herni-n10tangsel.blogspot.co.id/2010/08/inovasi-metode-pembelajaran-sejarah.html
diakses 18-1-2016)
Susanto, Heri. 2014. Seputar Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta : Aswaja.
Komentar
Posting Komentar