Nilai Serat Wicara Kertas Sebagai Basis Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah

Nilai Serat Wicara Kertas Sebagai Basis Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah
Oleh : Djoyo Bolodewo

Kenalkan budaya bangsamu kepada para pemudamu dan tanamkan nilai luhur yang terkandung di dalamnya ,maka nikmati kebesaran negerimu kelak!
1.      Serat Wicara Keras (SWK)
Naskah Serat Wicara Keras berupa manuskrip yang ditulis dengan bahasa dan aksara Jawa. SWK ditulis dalam bentuk puisi tradisional Jawa (tembang). Tembang yang dipakai dalam naskhah WK ialah tembang cilik atau tembang Macapat. Naskhah ini ditulis sesudah tahun 1789 dan selesai pada tahun 1816 di Surakarta. Terdapat lapan varian naskhah WK di muzium Sanabudaya. WK pada naskhah C ditulis dalam sebelas pupuh atau tembang (Poerwadarminta, 1938: 503). Pupuh-pupuh tersebut iaitu Asmaradana, Sinom, Dhandhanggula, Gambuh, Kinanthi, Megatruh, Pangkur, Dhandhanggula, Kinanthi, Gambuh, dan Sinom. SWK merupakan bentuk kritikan yang disampaikan karena kondisi sosial politik Surakarta saat itu. Karya ini merupakan luahan kemarahan Yosodipuro II terhadap keadaan sosial politik Surakarta pada waktu itu. Namun aspek-aspek estetis karya sastra tidak dilupakan. (Venny:2010:183).
Serat Wicara Keras ini ditulis pada hari kamis wage, 6 Jumadil Awal, mangsa 10, tahun 1747 (antara 26 Maret-19 April 1819). Selain itu, Serat Wicara Keras memang lebih besifat Piwulang, tetapi juga merupakan sebuah kritik sosial tajam yang dilontarkan oleh Yasadipura II. Oleh karena itu, Serat ini memiliki nilai cipta yang tinggi sebagai sumber sejarah untuk menggambarkan kondisi dan sikap sosial politik yang terjadi pada saat itu.
Serat Wicara Keras ini dapat diartikan sebagai bicara “blak-blakan” atau bicara apa adanya. Bait pertama dalam karyanya ini tampaknya menunjukan sebuah keputusan sekaligus suatu jalan terbaik untuk mengungkapkan ganjalan batin dan pujangga melihat realitas sosial-politik mesyarakat Surakarta yang sedang “sakit” saat itu, dan agar “setan-setan” pembawa penyakit itu pun lari terbirit-birit. Hal tersebut tertuang di dalam bait pertama karyanya tersebut, yang berbunyi :
“Watake wicara Kerar, sumuke pengucap wengis, iku nangekasake napas, setane nuli kekinthil yen njur ririh manis, nora tangi napasipun, ayem sarta santosa, setane lumayu ngenthir, pan wus kocap wong sabar ngunjara setan”.
`           Artinya :
“Hati yang panas mengucapkan kata-kata kasar, cara demikian membangkitkan rasa, dapat menundhukkan setan, bila lemah lembut, tidak akan membangkitkan rasa, dan tenang-tenang serta gembira, jika berbicara keras setan akan terbirit-birit, bukankah telah diketahui orang sabar memenjara setan”.

Penggunaan berbagai jenis tembang Macapat pada Serat WK membuat serat ini terkesan lebih variatif dan tidak membosankan. Setiap pupuh memuat satu pokok pemikiran yang berbeda dengan pupuh yang lain. Untuk mengarang suatu tembang, diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Karena untuk menulis tembang seorang pengarang harus mentaati aturan-aturan tembang Macapat yang akan ditulis, iaitu aturan mengenai guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra.Guru wilangan ialah jumlah suku kata yang ada dalam satu baris tembang. Guru lagu atau sering disebut dhong-dhing ialah aturan mengenai vokal di akhir baris. Sedangkan guru gatra ialah jumlah baris dalam suatu rangkap tembang.

2.      Nilai dalam SWK sebagai basis model pembelajaran sejarah
Secara umum serat wicara keras berisi kritikan yang disampaikan pujangga terhadap penguasa. Dari bentuk kritik tersebut penulis mencoba mereduksi nilai-nilai apa saja yang terkandung didalamnya,
Nilai-nilai karakter dalm Serat Wicara Keras antara lain yaitu :
1.      Sikap kritis tercermin dari isi SWK yang berisi kritikan keras yang disampaikan oleh pujangga keraton saat itu yaitu Yosodipuro II terhadap penguasa. Sikap kritis pujangga muncul karena melihat kenyataan sosial dari para pemimpin-pemimpin saat itu yang sudah mulai menyimpang dari tatanan yang seharusnya dan mengesampingkan kepentingan rakyat. Seperti yang termuat salah satunya dalam pupuh Sinom bait 7 yang berbunyi
sanadyan ora wania | ngarêpan garundêl buri | iku wong watak niaya | nora ngeman kaki nini | wong tuwa kang wus mati | katut tinunjang pêpisuh | mêmule pêndhak Ruwah | ilang bae tanpa kardi | nak putune ting balengkrah nora kaprah ||”.
Artinya ::
walaupun tidak berani | di depan bergumam di belakang | itu watak jelek | tidak sayang kakek nenek | orang tua yang  sudah mati | terbawa terkena umpatan | mengeluh tiap bulan Ruwah | hilang saja tanpa membuat | anak cucunya pada tercecer tidak karuan ||
2.      Nilai kepedulian sosial tercermin dari rasa kepedulian yang dimiliki oleh pujangga Yosodipuro II saat beliau menyampaikan kritikan dalam serat tersebut. Sebagai seorang pujangga keraton kehidupanya dapat dikatakan cukup terjamin. Namun melihat kondisi sosial masyarakat saat itu dibawah kepemimpinan yang tidak cakap muncul rasa kepedulianya terhadap sesama yang ditunjukanya dalam bentuk kritikan ini. Salah satunya seperti tersirat dalam pupuh Sinom bait 22 :
kaya alam wiradigda | lali kalamun wong cilik | kudu angowahi adat | ambubrah janji wus dadi | amêmpêng kudu jurit | sêsumbare bisa mabur | saguh lamun malumpat | bêngawane wong Sêmanggi | kabèh obat ing loji pan dadya toya ||
Artinya :
seperti alam yang kuat | lupa jika orang kecil | harus mengubah adat | merombak janji yang sudah jadi | bersungguh-sungguh harus bertarung | kesombongannya seolah bisa terbang | sanggup jika melompat | sungai orang Sêmanggi | semua obat di loji akan menjadi air ||
3.      Nilai kepemimpinan, dalam SWK ini objek kritiknya adalah para penguasa saat itu. Dalam kritikan tersebut disampaikan akan perilaku yang ditunjukan oleh para pemimpin yang menyimpang dan tidak mencerminkan keteladanan sebagai seorang pemimpin yang mengayomi dan mensejahterakan rakyatnya. Selain mengkritisi sikap dan perilaku para pemimpin juga memberikan gambaran akan pemimpin yang seharusnya. Terdapat dalam pupuh sinom bait 6.
“aywa dumèh wong awirya | anak putune wong mukti | sanadyan mêngku nagara | aywa sumakeyan êdir | tan nganggo dugi-dugi | sapa sira sapa ingsun | puniku bêbakalan | atêtombok kaki nini | kang wus bêcik panggonane mèlu nyambat ||”
Artinya :
jangan mentang-mentang menjadi orang berkuasa | anak cucunya serba kecukupan | walaupun menguasai negara | jangan semena-mena | tidak menggunakan perasaan | siapa kamu siapa saya | hal itu akan | menyusahkan kakek nenek | yang sudah baik tempatnya pun ikut mengeluh ||
4.      Nilai keberanian dan kejujuran tercermin dari posisi YosodipuroII sebagai salah satu orang pemerintah dalam artian disini perananya sebagai pujangga keraton maka beliau merupakan orang dalam pemerintahan saat itu. Namun beliau berani melakukan kritikan tersebut secara jujur apa adanya sesuai dengan penilainya ketika itu. Salah satunya terdapat langsung pada pupuh sinom bait pertama :
 watêke wicara kêras | sumuking pangucap wêngis | iku nangèkakên napas | setane nuli kêkinthil | yèn ujar ririh manis | nora tangi napasipun | ayêm sarta santosa | setane lumayu ngênthir | pan wus kocap wong sabar ngunjara setan ||”
Artinya :
wataknya berbicara keras | ucapan yang terlontar bengis | itu membangunkan nafas | setan lalu mengikuti | jika berucap pelan dan manis | tidak terbangun nafasnya | tenang serta kuat | setannya berlari terbirit-birit | jika sudah terbilang sabar memenjarakan setan ||
5.      Nilai cinta tanah air tercermin dari kritik yang diberikan bukan untuk kepentingan tertentu, melainkan karena bentuk cnitanya kepada keraton sendiri saat itu. Bertujuan untuk menyadarkan para penguasa. Karena jika pemimpin berperilaku seperti itu maka Negara akan menuju kehancuran. Salah satunya terdapat dalam pupuh Dhandanggulo bait ke 7 .:
“duk lolose saking ing nagari | ngontragakên ing nagara liyan | pating bathithit polahe | linurugan lor kidul | pangrasane ambêbayani | dene trahing prawira | lan dadya têtunggul | bupati môncanagara | wêkasane têka angisin-isini | ngucêmakên nagara ||”
Artinya :
saat perginya dari negara | menggegerkan negara lainnya | sok belagu tingkah lakunya | dikeroyok dari utara dan selatan | dianggapnya sangat tangguh | karena Keturunan bangsawan | dan menjadi pemimpin | bupati môncanagara | akhirnya justru memalukan | memalukan nagara || »
6.      Nilai religius tercermin dari sudut pandang si pujangga dalam memberikan pandanganya terhadap pemimpin yang menyimpang melalui standar agama yang dianutnya ketika itu. Seperti yang dicontohkan salah satunya dalam pupuh Dhandangulo bait 29 :
 “êndi têgêse panggawe bêcik|kaya ta karêp ngibadah salat | maca Kuran sadayane | ngèlingi sastra ayu |myang parimbon utawa malih | carita kuna-kuna | kang pantês tiniru | puniku luwih prayoga | dèn amantêp sarta narima tabêri | uwas-uwas sirnakna ||”
Artinya :
apa maksudnya berbuat baik | seperti ingin melaksanakan ibadah shalat | membaca seluruh Qur’an | mengingat-ingat pitutur yang baik | pada primbon juga | crita yang lalu | yang pantas ditiru | itu lebih baik | mantapkanlah dan tekuni | hilangkan rasa was-was ||
7.      Nilai kesopanan dan estetika yang tercermin dari kesantunanya dalam bentuk dari isi SWK ini. Meski berisi kritikan yang keras,tegas dan berani namun disampaikan dalam bentuk tembang dengan pemilihan kata yang bagus. Tembang disini yang digunakan adalah tembang mocapat yang terdiri dari : sinom, gambung, dandanggulo, megatruh, kinanti. Hal yang menarik ialah walaupun naskhah ini merupakan luahan kemarahan, namun aspek-aspek estetis pembangun karya sastera tidak dilupakan oleh YS II dalam menggubah karyanya. Unsur-unsur estetis yang ditemukan dalam karya sastera ini yaitu penggunaan: (1) tembang Macapat (puisi tradisional Jawa) sebagai struktur penggubah WK, (2) tembung Saroja, (3) tembung Garba atau Sandi, (4) Sasmita tembang, (6) pemanjangan suku kata, (7) kosakata Kawi, (8) purwakanthi, dan (9) perumpamaan dan istilah-istilah khusus (Venny:2010:183).
Nilai nilai budaya dan pendidikan karakter bangsa yang termasuk kedalam grand desain pendidikan karakter kementerian pendidikan nasional yang terdiri dari 18 karakter yaitu : religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja-keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, cinta tanah air, cinta damai, tanggung jawab, peduli sosial, peduli lingkungan. Berdasarkan reduksi nilai-nilai yang terkandung dalam SWK di atas, terdapat nilai karakter yang dipetakan sesuai dengan nilai-nilai budaya dan pendidikan karakter bangsa pada grand desain pendidikan karakter kemendiknas.








Tabel 3. Indikator nilai karakter SWK

Nilai-nilai yang terkandung dalam Serat Wicara Keras
Nilai-nilai budaya dan pendidikan karakter bangsa pada grand desain pendidikan karakter kemendiknas
Sikap kritis
Demokratis
Kepedulian social
Peduli sosial
Keberanian
Semangat
Jujur
Jujur
Cinta tanah air
Cinta tanah air
Kepemimpinan
Tanggung jawab
Religious
Religius
Kesopanan
Kreatif
















Referensi :
         Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan Kasusastran Djawa. Yogyakarta: Soejadi.

Poerwadarminta, W.J.S. 1938. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters G.


Komentar

Postingan Populer