Memilih Untuk Terpilih, Terpilih lantas Memilih

Memilih Untuk Terpilih, Terpilih lantas Memilih
Oleh : Djoyo Bolodewo

Pencapaian dalam hidup seakan membuai manusia untuk menempatkan sisi ke “aku” anya sebagai sang penentu. Lalu bagaimana dengan si “nasib” dan kawan-kawan?. Alangkah menggerutunya pula si “ Bejo” yang mulai dilupakan. Milik siapa sebenarnya semua itu, kita atau yang dipilihkan untuk kita miliki dan jalani? Mungkinkan itu yang disebut dengan kehendakNya? Atau kehendak kita. Seperti apa kita itu lebih pada peran kita yang memilih jalan itu atau lebih kepada peran Gusti Allah yang memilih kita menjadi seperti apa. Berarti kita yang terpilih!

Sepenggal kisah.
Di daerah pegunungan kapur dari deretan pegunungan seribu yang membatasi laut selatan dengan hamparan daratan bernama Gunung Kidul. Sosok berkarisma yang didarahnya mengalir trah Mojopahit. Mengambil nama sebagai Ki Ageng Giring, beliau memilih menepi didaerah pegunungan kidul dan memberdayakan masyarakat dengan pengaruhnya. Meski menepikan diri dan mendekatkan kepada Sang Pencipta, aliran Trah tak pernah benar-benar habis dalam dirinya. Harapan selalu menyala akan datangnya “Wahyu Kedaton” untuk kembali meneruskan cerita kebesaran leluhurnya. Laku prihatin yang dalam dan kuat tak henti-hentinya dilakukanya sembari menyebarkan kemanfaatan kepada penduduk dan masyarakat sekitar. Hingga tiba pada suatu ketika datangya petunjuk itu. Melalui titah Kanjeng Sunan Kalijaga yang menyampaikan sanepan akan tumurunya wahyu trah melalui buah kelapa muda yang terdapat pada pohon kelapa di depan rumahnya. Bergegas dia memetik buah kelapa tersebut dengan perasaan senang yang tak dapat dilukiskan karena harapan besarnya hampir menjadi kenyataan. Berdasarkan petunjuk yang didapatkan air kelapa tersebut harus diminum dalam sekali teguk tanpa tersisa setetespun. Seakan wahyu kedaton telah turun kepada dirinya untuk anak keturunya. Ki Ageng menenangkan jiwanya, menggelayut anganya akan apa yang terjadi dan mencoba meresapi nikmat yang didapatkan melalui petunjuk itu. Sejenak berfikir,Ki Ageng memutuskan untuk meninggalkan buah kelapa yang telah diparis/ dipangkas bagian ujungnya di atas “babrakkan”, lantas ke kebun bekerja dengan keras dan semangat untuk menerima akibat dahaga demi terteguknya air kelapa hingga tuntas. Anganya akan kemuliaan pada generasinya mencengkeram kuat dalam ayunan sabit dan cangkulnya.
Tamu yang tak diundang “ sowan” sebagai wujud persaudaraan yang tak pernah usang. Persahabatan yang lama terjalin sebagai sesama murid Sunan Kalijogo, telah membuat mereka layaknya saudara tua dan muda sehingga batasan itu membuat semacam keluarga seperguruan yang akrab. Sosok yang menyempatkan sowan ke pesanggrahan Ki Ageng Giring, tak lain adalah saudara jauhnya, yang juga bergelar Ki Ageng karena di darahnya juga mengalir darah trah dari mojopahit. Bernama Ki Ageng Pemanahan, keturunan dari Ki Ageng Selo, sosok yang juga berhasrat besar untuk meneruskan cerita kejayaan Majapahit. Rasa kekeluargaan yang terdapat diantara dua tokoh tersebut mengaburkan batas privat diantara mereka, perjalanan jauh hingga ke Gunung kidul cukup sebabkan kelelahan dan dahaga. Langkah kaki sampai pada pelataran rumah yang Nampak sepi, dengan salam yang terucap dan jawaban yang diharap tak kunjung bersahut maka jiwa keluarganya yang kepermukaan. Barangkalai Ki Ageng dan Nyi Ageng sedang ke kebun pikir Ki Pemanahan, lantas beliau menuju “ pawon’’ untuk mencari barang seteguk air putih. Menatap kendi yang terdapat di atas meja, pandanganya sekelabat terpaut pada bentuk bulat terparis ujungnya yeng tergeletak di “babrakkan”, sambil melangkah menghampirinya, berguman akan kebaikan jiwa kakang Giring, seakan mengetahui kehadiranya sehingga menyediakan air kelapa segar. Tanpa ragu dipangkas hingga terbuka lantas diminumnya dalam sekali tenggak. Sangat maklum mengingat perjalnya menuju Gunung kidul banyak menyita tenaga. Dingindan menyegarkan air kelapa tersebut membasahi bagian dalam tubuhnya, seraya mengucap syukur di bersandar pada dipan yang terletak di depan rumah kakang Giring, tak terbesit sedikitpun akan rahasia petunjuk  Gusti Allah yang terdapat dalam air kelapa yang bersemayam dalam lambungnya.
Tuan rumah yang ditunggupun menyelesaikan titahnya terhadap bumi pertiwi (bertani), bergeser tengah hari terlihat sosok tua yang tetap gagah dan berotot tergopoh dengan cangkul dipundaknya berlari kecil seakan ada yang harus segera ditemuinya. Senang rasa hati Ki Pemanahan bahwa dalam pikiranya menyanjung akan kepekaan nurani kakang Giring yang mengetahui perihal kedatanganya. Sudah disediakan air kelapa segar, kini dengan semangat kakangnya ingin segera menemuinya. Dadanya mengembang, pelukan kekeluargaan diharapkanya sebagai bentuk kerinduan seorang saudara. Namun hanya tatap mata yang menyapa , Kakang Giring bergegas menuju “ pawon “ untuk meneguk habis petunjuk dalam buah kelapa yang tadi didapatkanya. Terhenyak, lesu ketika kenyataan tak sesuai dengan harapanya, tergolek kelapa yang airnya sudah kosong sembari berguman,kemana lagi wahyu kedaton ini akan berlabuh?. Melangkah lemas, dijumpainya adi Pemanahan di ‘”emperan” dan dimulailah tegur sapa itu.
‘’adi sudah lama tiba disini, bagaimana kabar adi?
“ baru sejenak kakang, kabar baik, bagaimana dengan kakang?” sahut pemanahan
“sehat adi, namun kenyataan sekejap telah menjadi kabar keburukan bagiku,jawab Giring dengan lesu.
“apa yang terjadi kakang?’” Pemanahan terkejut dengan apa yang didengarnya seraya menambahkan, “ o iya kakang, ketika saya tiba disini saya uluk salam ,tapi tiada sahutan, saya berfikir jikalau kakang dan mbakyu sedang di lading” sambil membenahi duduknya, dilanjutkanya penjelasanya, “ saya haus sekali kakang, mohon maaf saya langsung ke “pawon” saya ingin mengambil isi “kendimu”, namun saya melihat kelapa muda segar dan saya langsung meminumnya sampai habis, segarnya luar biasa kakang” sambil tertawa Pemanahan menepuk pundak kakangnya “ kakang masih winasis, bahkan kedatangan saya yang tanpa kabar pun kakang sudah menyiapkan air kelapa untuk saya”. Terimakasih kakang.
Giring, tertunduk lesu mendengar penjelasan Pemanahan yang tanpa mengetahui gundah dalam hatinya. “ itulah permasalahanya adi Pemanahan!”. Terkejut  pemanahan,” maksud kakang?”.
“ sudahlah, semua sudah menjadi suratan takdir, meski aku memilih melewati “ laku “ ini, ternyata engkaulah yang dipilih “Gusti Allah”. Engkau memang terpilih adi pemanahan”. Jelas Giring.
“maksud Kakang apa ? saya semakin bingung.” Pemanahan menimpali. “ mari kita” rembuk” semua ini adi, semoga adil dan sama-sama keturunan kita dapat merasakan kemuliaan bersama.
Mereka berdua berjalan dan menuju kembang lampir, untuk menjelaskan secara jelas semua yang terjadi, asal muasal wahyu hingga politik “ power sharing” mencoba untuk mereka sepakati bersama.
Inillah hidup, sekali lagi hamung sak dermo nglampahi, Gusti kang paring pepesti”. Kita bukan memilih jalan, tetapi memilih menjalani jalan yang memang terpilihkan untuk kita. Ini menunjukkan peran Tuhan dalam perjalanan hidup kita jauh lebih besar dari pada peran kita sendiri terhadap diri kita. Bukankah kita ini makhlukNya, yang secara mutlak berada dalam kuasanya, tidur, terjaga, hidup dan mati kita. Hanya kwajiban ikhtiar untuk perubahan dalam hidup kita, selanjutnya adalah kepasrahan sebagai jalan yang utama. Jikalau memang kita menjadi orang yang terpilih, ya memang itulah kita dan Allah maha mengetahui atas semuanya. Bersiaplah untuk menjadi orang yang terpilih dan memilihlah jalan yang sudah terpilihkan tersebut. Bolehkah seperti itu?
Bersambung..


Komentar

Postingan Populer