Pendidikan berbasis Nasionalisme!

Pendidikan berbasis Nasionalisme!

“Mencerdaskan kehidupan bangsa! Itulah kalimat yang tertuang dalam konstitusi dasar Negara kita. Sebuah cita-cita luhur yang syarat makna, karena bangsa yang cerdaslah yang mampu berdiri di atas kaki sendiri (BERDIKARI), mampu bersaing dan besar kemungkinan untuk menjadi pemenang. Untuk menuju tujuan tersebut ternyata pendidikan di Negeri ini masih dikatakan jalan ditempat, karena pada kenyataanya kualitasnya belum menunjukan produk yang mumpuni. Sebuah produk yang bisa meneruskan roda kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai insan yang cerdas dan berbudi luhur.”
Era pertumbuhan pendidikan Nusantara
Pertumbuhan pendidikan seiring berjalanya waktu bukan lagi hal yang baru, mulai muncul di negeri ini jauh sebelum Republik terlahir meski berbeda dalam tujuan. Tumbuhnya pendidikan lokal tradisional yang syarat akan nilai kearifan lokal mulai muncul dan berkembang bersama perkembangan interaksi budaya yang masuk ke nusantara saat itu. Sejarah mencatat berdasarkan kronik dari dinasti cina bahwa kerajaan yang ditetapkan mempunyai ciri nasional pertama yaitu Sriwijaya mempunyai sebuah sekolah Budha yang diperkirakan terbesar di Asia tenggara pada eranya. Hal tersebut menunjukan otoritas pemerintah serius dan tidak main- main tentang pendidikan sebagai penentu kemajuan Negara. Masuknya budaya baru dari tanah Arab yang bermuatan ajaran Islam berpengaruh besar terhadap perkembangan pendidikan yang dikemas dalam bentuk tradisionalnya yang dikenal dengan nama pesantren. Para ulama memegang peranan penting dalam perkembangan ini. Di dasari oleh kemauan sadar bagi sang guru untuk menyebarkan agama islam dan keinginan si murid untuk mempelajari kebudayaan baru menghasilkan simbiosis mutualisme dalam bentuk pengabdian atau yang dikenal dengan istilah “nyantri”. Kedatangan bangsa barat yang mempraktekan kolonialisme imperialisme di nusantara menjerat bangsa ini ke dalam ikatan penjajah dan terjajah, kekuasaan si cerdas terhadap si dungu yang berlaku saat itu, sehingga sudah menjadi garis takdir kalau orang bodoh takhluk terhadap si pandai. Keuntungan yang melimpah dari pengerukan Sumber Daya Alam (SDA) negeri ini yang dilakukan oleh penjajah dan di dorong oleh kemajuan pola fikir liberalis mendorong Belanda atas dasar hutang balas budi (politik etis) menciptakan pendidikan untuk kaum pribumi. Pendidikan modern bukan lagi sistem nyantri tetapi mengadopsi model barat dengan tingkatan jenjang yang pasti dan diatur dengan kerangka yang jelas. Namun dibalik semua itu ternyata pendidikan yang diselenggarakan mempunyai muatan lain dengan tujuan untuk menciptakan tenaga kerja terampil yang murah untuk instansi Belanda sebagai pegawai rendahan bergaji murah, sehingga dalam penjabaran ilmu hanya sebatas tujuan yang di inginkan. Dalam artian hanya sebatas pendidikan setengah hati. Meskipun begitu ternyata muncul mutiara-mutiara dari kubangan yang diciptakan penjajah, banyak tokoh nasional yang cerdas muncul memperjuangkan nasib bangsa untuk lepas dari belenggu kekangan penjajah. Dan itupun terwujud, Indonesia merdeka! Pendidikan menjadi kunci utama untuk sebuah Negara yang baru terlahir oleh karena itu tujuan pendidikan secara jelas dan tegas terukir dalam kontitusi dasar Negara ini. Meskipun dalam praktiknya masih mewarisi sistem pendidikan kolonial yang cenderung menciptakan pegawai rendahan insan pekerja yang tidak mempunyai semangat kemajuan tinggi dalam persaingan zaman.
Era Pendidikan Modern jalan ditempat, Nasionalisme sebagai tawaran.
Kini usia pendidikan berkembang seiring perkembangan Negara kita, mencerdaskan kehidupan bangsa tetap menjadi pijakan secara normatif. Untuk menyongsong tujuan tersebut pemerintah berupaya untuk menelorkan berbagai kebijakan sebagai penopang tercapainya tujuan tersebut dalam kemasan kurikulum yang mesti dilaksanakan semua penyelenggara pendidikan. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir kita sering gonta-ganti kurikulum, mulai 1994, KBK, KTSP hingga yang terbaru kurikulum 2013 yang prakteknya masih memunculkan pertanyaan disana-sisni. Apapun kurikulumnya pendidikan di negeri ini tetaplah berlangsung, tetap menghasilkan insan penerus bangsa meskipun minim rasa kebangsaan. Dapat dikatakan seperti itu karena memang dalam kenyataanya penanaman nilai rasa kebangsaan rasa memiliki tanah air ini semakin terhindar secara sengaja atau tidak dari kerangka pendidikan yang berlangsung. Materi dan si penyampai materi dalam prakteknya kurang terdapat muatan cinta tanah air itu. Semua hanya sebatas materi tuntas, dan akumulasi nilai akhir untuk maju kejenjang berikutnya. Masyarakat yang cerdas memang terwujud, meskipun dalam sekala kecil dan tidak berarti mewakili keseluruhan, sebagian produk pendidikan di Indonesia mampu berbicara dalam kancah internasional dalam berbagai ajang perlombaan. Namun cukupkah kategori cerdas yang sebagian itu sebagai barometer kesuksesan pendidikan di negeri ini?.
Kita mesti mencermati lebih jauh berdasarkan kenyataan yang kita rasakan dan kita saksikan sehari-hari, banyak yang menampilkan potret pendidikan di Indonesia dari sisi negative. Sebagai contoh tawuran antar pelajar dikota-kota, keterlibatan para pelajar dalam berbagai tindak kriminalitas, dapatlah itu dikatakan sebagai  serpihan bukti kegagalan pendidikan kita. Disisi lain di belahan wilayah Indonesia yang jauh terpencil sana dimana anak-anak negeri yang dahaga merindukan tetesan embun pendidikan belum terobati, mereka terbatas oleh kemampuanya, terbatas oleh fasilitas yang ada. Padahal porsi mereka sama sebagai pilar penerus bangsa. Sudahkan Negara ini mencerdaskan seluruh warganya?. Sebuah dilematis dalam dua sisi yang berbeda antara  yang sudah dicerdaskan  dan yang belum. Yang menjadi permasalahan yang sudah dicerdaskan belum menempatkan sebagai penerus bangsa yang sejati, kenapa?. Kembali dalam praktik penyelenggaraanya, dalam keseharianya siswa hanya dicekoki dengan lembaran-lembaran materi dan ceramah guru sebatas yang dia tahu. Pemerintah terus menerus berupaya membuat perbaikan namun dapat dikatakan nihil, dalam artian cerdas tercapai tetapi perilaku stagnan, sisi negative masih menghiasi dengan corak tersendiri. Padahal disadari atau tidak semua akan berujung pada nasib bangsa di generasi mendatang. Kenapa justru mereka yang sudah cerdas, sudah pandai malah cenderung memporak-porandakan nasib bangsa, perilaku korup sebagian pejabat menjadi cermin betapa tak ada rasa untuk mencintai bangsa, karena  jika itu ada pastinya nurani mereka akan menolak untuk melakukan tindakan yang merugikan Negara. Seharusnya mereka gunakan kecerdasanya untuk mendongkrak kualitas negeri ini bukan malah menodainya dengan perilaku yang menyimpang. Sebagai jawaban sebenarnya sederhana “ Tanamkan rasa nasionalisme dalam pendidikan!”. Nasionlisme harusnya dikemas dan di integrasikan dengan baik dalam penerapan pendidikan mulai sejak dini, mulai sejak mereka mengenal pendidikan. Penanman secara pasti bukan tumpukan teori yang menyajikan wawasan kebangsaan yang membingungkan. Jika hal ini dipenuhi mungkin akan menjadi jawaban terhadap tantangan yang ada dengan hasil yang bisa diandalkan, bukan hanya cerdas namun mempunyai rasa cinta tanah air yang melekat erat dalam jiwanya sehingga polemik masalah kebangsaan dewasa ini tentang disintegrasi moral akan teratasi. Cita -cita luhur yang tertuang dalam konstitusi negeri ini akan menemui titik terangnya dengan masyarakat yang cerdas terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.
Wahyu Djoko Sulistyo
Alumni Pendidikan Sejarah UNS 2007
085725177629


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer