“68 tahun, Demokrasi jalan di tempat”
Demokrasi menjadi slogan hidup yang kini mengaliri
setiap nadi masyarakat yang berbangsa, tak luput pula negeri kita Indonesia.
Demokrasi seakan menjadi Tuhan yang diagungkan dan dicita-citakan dalam semua
segi kehidupan mulai tingkat keluarga yang terkecil hingga masuk keranah tata
Negara. Penekanan pada paham kebebasan dan penghormatan terhadap Hak Asasi
Manusia menjadi daya tawar tersendiri yang mampu melanggengkan demokrasi
menjadi idola yang tak luput untuk senantiasa diagungkan. Namun realita untuk
sementara ini berkata lain dari tujuan normatif demokrasi karena perampasan HAM
dan pengesampingan nilai kebangsaan yang kini mewarnai penegakan demokrasi di negeri ini. Lantas pertikaian apa yang
muncul dibalik semaraknya semangat demokrasi dengan kualitas nasionalisme dalam
jiwa bangsa Indonesia?.
Model kehidupan feodalistik hingga pemerintahan monarki
yang cenderung absolut secara sadar maupun paksaan telah bergeser karena
kemajuan kehidupan menuntut untuk meninggalkan model kuno yang dinilai tidak
tepat dengan sendi kehidupan kini. Paham demokrasi yang sejatinya telah lahir
dimuka bumi sebagai bentuk pertentangan dari model diatas secara alamiah muncul
dalam setiap benak manusia hidup. Karena atas dasar pemikiran” siapa manusia
yang menginginkan hidup terkekang?” semua pasti menginginkan kebebasan dalam
bentuk apapun!. Oleh karena itu dikemasnya demokrasi menjadi sebuah teori yang
dikaji dan diterapkan dalam bentuk paham, menjadi dewa penyelamat bagi siapapun
yang merindukan kebebasan. Perjuangan dalam mewujudkan pemerintahan yang
demokratis mulai mendobrak keras dalam bingkai revolusi berdarah yang dimulai
dari Negara –negara barat mulai abad ke-18 sebagai pioneer kesuksesaan.
Peristiwa revolusi besar yang terjadi di Amerika, Prancis, Rusia dalam rangka
penggulingan terhadap pemerintahan tiran yang absolut menjadi penyulut
munculnya pergerakan diberbagai Negara berikutnya untuk menentang keadaan,
untuk memperjuangkan nasib menolak penindasan. Momentum otoritas Belanda
terhadap negeri kita saat itu sebagai Negara yang diperbudak menjadi semangat
tersendiri dengan mengalirnya paham demokrasi dalam jiwa para The Founding
Father negeri ini. Perjuangan semakin gencar atas dasar keyakinan untuk merdeka
dan berdemokrasi, hidup madani sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai
penghormatan terhadap sesama. Mimpi tersebut terwujud dalam bentuk seremonial
sederhana namun penuh makna 68 tahun silam di jl. Pegangsaan Timur no.56
Jakarta , dengan pernyataan singkat bahwa negeri ini telah berdaulat dan berhak
menentukan kehidupanya sendiri. Sistem kenegaraan disusun sebagai bentuk
penghormatan terhadap nilai perjuangan para pahlawan dan harapan jauh kedepan
untuk terciptanya masyarakat nusantara yang adil dan makmur, maka sebagai
pedoman hidup berbangsa harus berpijak pada satu kesepakatan yang bernama
“Demokrasi Pancasila”. Paham hidup yang begitu agung dan seharusnya tak pernah
mati dimakan usia, penghidupan budaya demokrasi namun tanpa meninggalkan jati
diri masyarakat Indonesia yang khas yang tertuang dalam Pancasila. Paham ini
mencoba merangkul beragam perbedaan yang tersebar di tanah air ini dalam
cengkraman persatuan yang kuat dan rengkuhan sayap yang teduh sebagai warga
Negara Indonesia. Sejak saat itu demokrasi telah terintegrasi dalam kehidupan
bangsa Indonesia yang baru terlahir namun mempunyai cita-cita luhur untuk
kedepanya.
Enam puluh delapan tahun bukan waktu yang pendek
dalam takaran kehidupan manusia sejak mereka terlahir. Usia tersebut sudah
senja, sudah pantas dinantikan petuah bijaknya dalam mengarungi kehidupan,
namun untuk usia sebuah Negara masih bisa digolongkan usia dini. Dalam
perjalanan waktu tersebut sepertinya para ahli politik menilai banhwa negeri
ini belum juga dewasa dalam berdemokrasi, bahkan terjadi penerapan salah kaprah
dalam praktiknya. Sejak momentum revolusi setengah hati atau dalam istilah kita
kenal “Reformasi” 15 tahun silam sebagai tonggak penegakan kembali demokrasi di
negeri ini dapat kita saksikan bersama kebebasan dalam berbagai hal seakan
menemukan kembali nafasnya yang terhenti selama 32 tahun. Penerapan demokrasi
benar-benar nyata, kebebasan berfikir, berekpresi terjadi di semua sendi, semua
bersorak, berteriak tanda sebuah kemenangan, catatan baru dalam sejarah negeri
ini pada saat itu. Para ahli hukum membidani untuk terlahirnya
peraturan-peraturan legal untuk melanggengkan demokrasi dan membentengi untuk
tidak terlahirnya kembali kekuasaan tiran di kemudian hari. Perubahan yang
dilakukan tidak tanggung-tanggung, mereka bukan hanya melahirkan peraturan baru
tetapi inangnya pun berani mereka operasi organya dalam bentuk “Amandemen UUD
‘45” meskipun seharusnya tak pantas dilakukan. Semua itu dilakukan tak lebih
untuk penegakan demokrasi. Kini kita dapat menilai sendiri sejauh mana cita-cita
penegakan tersebut dengan kondisi bangsa, secara sederhanana dan kasat mata
ternyata semua berbanding terbalik. Barometer kesuksesan pemilu yang mampu
menempatkan Indonesia sebagai jajaran Negara terdemokratis dimuka bumi bukan
jaminan kondisi Negara akan lebih baik.
Pengingkaran nilai luhur terjadi dimana-mana turut
menghiasai keindahan demokrasi, rasa kebangsaan, rasa bela Negara kini mulai
terkikis oleh kebebasan itu sendiri. Konflik antar golongan menjadi sajian yang
selalu menyapa dalam setiap headline berita dari berbagai media. Pertanyaan
kembali muncul “ seperti inikah demokrasi kita? Inikah bentuk penegakan HAM?’’ .
sebagai contoh nyata hasil dari praktek demokrasi di negeri ini kita tengok kualitas
para pemimpin dari segala segi pemerintahan tingakat daerah hingga pusat.
Mereka yang kita pilih secara demokratis
kualitasnya tak lebih dari preman jalanan meskipun tidak semuanya.
Berbagai penyelenggaraan pesta demokrasi diberbagai belahan wilayah Indonesia
selalu diwarnai dengan berbagai bentuk kecurangan yang menyulut konflik fisik
dan berujung pada disintegrasi bangsa. Penyelenggaraan pesta demokrasi hanya
atas namanya saja bangsa Indonesia namun tujuanya jauh dari negeri itu sendiri
melainkan kepentingan pribadi atau golongan untuk jaminan keuntungan meski
menginjak pihak – pihak lain. Rasa kebangsaan yang seharusnya tertanam kuat
dalam jiwa setiap warga Negara kini seakan menjadi hal yang tabu. Kebebasan
yang kebablasan telah menggerus nilai nasionalisme itu sendiri. Kebebasan yang
diberikan kini disalah artikan, demokrasi yang dicita-citakan jauh dari
penerapanya. Semua menjadi dilemma bukan salah demokrasinya bukan salah
nasionalismenya. Seharusnya keduanya bisa hidup berdampingan untuk menncapai
kondisi masyarakat yang dicita-citakan. Masyarakat Indonesia mesti dewasa dalam
menyikapi masalah ini, pemimpin mesti sadar akan tanggung jawab sebagai bentuk amanah yang mesti dituntaskan
sebagai wujud dari keberhasilan produk demokrasi sehingga nasib bangsa menjadi
jaminan pasti. Karena Nasionalisme adalah harga mati !
Wahyu Djoko
Sulistyo
Guru Sejarah SMA Sekolah Darma Yudha
Jl. Ring Road No.48 Pekanbaru
085725177629
Komentar
Posting Komentar