“POLITIK ETIS HINGGA NASIONALISME”
“POLITIK ETIS HINGGA NASIONALISME”
“Pengetahuan yang akan membimbing kita laksana cahaya yang menerangi
kegelapan! Kaum terpelajarlah yang akan membangun dan mempertahankan sebuah
peradaban! Politik etis mengambil sebagian peranan untuk melahirkan golongan
terpelajar di tanah jajahan. Merekalah nantinya yang tak dapat dipungkiri turut
berperan dalam membingkai Indonesia”
Memasuki usia yang ke- 300 tahun
sejak kedatangan mereka di banten th1596 yang telah berlalu, atas segala
sesuatu yang telah dirampas dari tanah air ini maka ditelorkanya politik balas
budi (politik Etis) 1901. Sebagai bentuk imbalan baik terhadap Indonesia yang
telah menyerahkan Tanah Airnya dan bangsanya kepada kekuatan lain meskipun
kenyataanya berlainan .
Politik etis terlahir dilatar
belakangi oleh perubahan di negeri Belanda dimana terjadi pertentangan antar
kaum sosial demokrat dengan kaum konservatif yang ingin mempertahankan status
quo. Yang pada akhirnya dimenangkan oleh kaum sosial untuk duduk di parlemen Belanda sehingga
berdampak terhadap kebijakan di negeri jajahan. Maka dari itu sebagai utang
kehormatan digulirkanya politik etis yang subtansinya telah disampaikan diawal
oleh tokoh Van de Venter melalui tulisanya dalam jurnal De Gids. Politik etis berisi tiga hal untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat di negeri jajahan yaitu migrasi, edukasi dan
irigasi. Trilogi tersebut menjadi senjata yang diyakini ampuh membantu rakyat
Indonesia kala itu untuk sedikit lebih baik meningkatkan kehidupanya.
Munculnya kaum terpelajar.
Untuk program politik etis dalam
prakteknya jauh dari tujuan normatifnya, yaitu adanya berbagai penyelewengan
tujuan yang dilakukan oleh pihak pemerintahan kolonial. Kita ambil satu sorotan
disini mengenai pelaksanaan pendidikan, bukan murni untuk mencerdaskan penduduk
pribumi namun dimuati kepentingan atas dasar kebutuhan tenaga kerja terampil
dalam tubuh administratif pemerintah kolonial. Dengan pengenalan ilmu dasar
baca, tulis dan hitung maka itu dirasa cukup untuk mencetak tenaga kerja yang
cukup dibayar dengan biaya yang murah dalam rangka menjalankan fungsi
administrasi pemerintah. Sebagai pegawai rendahan!
Pendidikan yang diberikan pun
tidak menyentuh semua lapisan masyarakat, melainkan terbatas pada lapisan atas
pribumi atau dalam artian mereka yang punya kepentingan dengan pemerintah
kolonial. Disini adalah mereka para putra pejabat lokal yang berinteraksi
langsung dengan pemerintah untuk keberlangsungan ekploitasi. Meskipun seperti
itu momentum pendidikan inilah yang nanti akan menentukan nasib bangsa.
Pendidikan yang dapat dikatakan hanya ala kadarnya bagi sebagian masyarakat
Indonesia benar – benar dimanfaatkan dengan baik. Mereka yang sempat menikmati
proses itu melewatinya dengan keseriusan. Bukan hanya untuk memperbaiki
nasibnya dan keluarganya tapi juga nasib negerinya. Karena pemikiran baru,
kecerdasan wawasan dan semangat akan kebebasan mulai menggelanyut di dalam otak
para pelajar ketika itu. Mereka yang telah mampu menikmati masa belajar dan
berkembang dengan iklim intelektual telah mampu menyadarkan mereka akan nasib
tanah kelahiranya, menyadarkan mereka akan siapa yang selama ini memerintahnya
dan mereka sadar bahwa kedaaan ini tak seharusnya dibiarkan berlama-lama. Satu
jawaban tertanam kuat dalam benak mereka yaitu “diperbudak” atau “bebas”. Dan
jawaban “bebas” menjadi jawaban bulat!. Karena jawaban itulah mereka mulai
bergerak, bahwasanya tujuan itu hanya akan diraih melalui sebuah perjuangan dan
perjuangan dimulai dari perjuangan untuk mengenal, mengerti dan mencintai
wilayah yang telah ratusan tahun dikelola oleh bangsa asing. Inilah rasa
“Nasionalisme”!
Dan kaum Intelektual Muda itulah Jawabanya
Para kaum intelektual muda masa
itu yang berhasil menyelesaikan studinya, baik sekolah Belanda di Indonesia maupun
yang mengejar tingkat kesempurnaan ilmunya hingga ke negeri Belanda memulai
berjuanganya untuk mencapai tujuan “bebas”. Mereka berjuang bukan lagi atas
nama golongan mereka, bukan atas nama kebangsawananya tetapi atas nama
bentangan kepulauan di Samudra Hindia yang pernah menorehkan kejayaanya di masa
silam tersebut. Pantas untuk dirindukan kembali!. Mereka sadar bahwa perjuangan
akan mudah terhenti, mudah terhempas jika mereka lakukan sendiri. Oleh karena
itu perlu ada yang namanya “nation”
adanya bentuk kesatuan adanya kesamaaan visi dan tujuan yaitu mencapai kata ‘”
bebas”!. Wawasan luas yang mereka peroleh, mereka pelajari selama proses
pendidikan, ilmu yang mereka dapatkan dari melalap buku-buku tentang perjuangan
Revolusi telah mampu mengilhami menjadi semangat yang menggelora, kalau mereka
bisa kenapa kita tidak? Itu yang menjadi pertanyaan pasca mereka mempelajari
keberhasilan revolusi yang terjadi di Negara- Negara lain. Langkah awal dengan
membangun keseragaman tujuan dengan menyadarkan mereka akan pentingnya sebuah kemerdekaan.
Dihimpunlah kekuatan- kekuatan baru tersebut dalam sebuah wadah perjuangan
bernamakan organisasi nasional. Budi Oetomo, Syarikat Islam, Indsche Partij
lahir sebagai metamorfosa awal semangat kebebasan tersebut. Meskipun terlahir
masih mewakili golongan mereka , namun secara sadar dan terencana mereka
mencoba merangkai skema militansi yang akan suka rela mengorbankan segalanya
untuk negeri impian dimasa yang akan datang. Yaitu Indonesia! Seperti itukah?.
Munculnya organisasi tersebut
menjadi api pemantik semangat kebersamaan. Rasa keseragaman atas dasar
persamaan nasib mulai muncul sehingga membuat resah pemerintah kolonial.
Sebagai respon terhadap geliat organisasi masa yang digawangi oleh para tokoh
intelektual muda, pemerintah menerapkan politik represif terhadap mereka.
Pembatasan ruang gerak bagi para pejuang tak menyurutkan asa untuk terus
berjuang, bahkan warna konfrontatif pun mulai tumbuh dengan adanya provokasi
untuk anti terhadap penjajah. Hal ini berimbas pada penangkapan para tokoh-
tokoh intelektual yang harus menjalani hidup di dalam bui sebagai ganjaran dari
tindakan mereka. Namun kenyataan berbicara lain, bukanya menyurutkan semangat
perlawanan namun menjadi bara yang semakin menghangatkan aura untuk menolak
yang namanya penjajahan. Kaum intelektual semakin bertambah banyak jumlahnya
visi dan pengetahuan telah mengantarkan mereka untuk menciptakan perubahan.
Perubahan yang nyata bagai bangsanya yang lama menderita. Akankah ini terjawab, ya pada akhirnya cita-cita
yang mereka telah impikan terwujud. Terwujud dalam tanda “?” karena cita –cita
yang sejati dari mereka kini berada
ditangan kita bagaikan tongkat estafet. Bukan cukup untuk mencapainya tapi
bagaimana cara mempertahankanya. Kalau mereka dulu para pelajar yang dengan
keterbatasanya mampu membangun cita-cita luhur kenapa kini kita yang bisa
belajar leluasa tanpa batas tak mampu lebih baik dari mereka. Perbedaanya
mungkin Cuma satu , kalau dulu setelah mereka pandai mereka bertanya dan
berusaha menjawab apa yang bisa kuperbuat untuk tanah airku (Nasionalisme),
tapi kini semakin pandai mungkin semakin lupa dimana tanah airku. Bukankah
begitu? Kalau tidak, mulailah berbuat yang terbaik untuk Tanah Airmu wahai
pemuda!
Artikel untuk majalah NOMINA, kelas XI IPS B SEKOLAH DARMA YUDHA.
sip....tp tetep TLK
BalasHapus