"Untuk Sebuah Pengakuan, antara Mangir dan Senopati."
Oleh : Djoyo
Bolodewo
Meski tak semantab langkah langkah Srikandi dengan
“jemparing” ditanganya dalam
menjalankan perananya sebagai “senopati”
Amarta, Pembayun yang harus memerankan
peran ganda dalam setrategi politik Mataram dalam menakhlukkan kekuatan Mangir.
Namun langkah yang bermula dari pelataran Keraton Kota Gede ini berselimut
keraguan dan tanda Tanya besar akan sosok yang hendak dia rengkuh jiwa dan
raganya serta kekuasaanya. Bayang-bayang ketakutan dan ketidakberdayaan dari
sang penguasa menyelimuti sebuah perenungan panjang dalam menentukan strategi
yang jitu. Demi sebuah pengakuan semua harus rela berkorban termasuk kepada
sang Putri pun harus menunjukkan pengabdianya. Pembayun mengayunkan langkahnya,
menepis keraguan dalam batinya akan tugas yang diembanya. Cukupkah latihan olah
suara dan gemulai tubuhnya dalam membawakan tari cukup untuk menggetarkan hati
sang pemilik tombak baru klinthing, itu hanya salah satu dari ribuan Tanya yang
menyelimuti langkahnya.
Mangir tak lebih untuk menyebutkan sebuah
identitas dalam batas kewilayahan yang cukup maju dalam berbudaya dengan
kehidupan material dan spiritual. Semua itu tak lepas dari sosok yang
diagungkan oleh masyarakat mangir, siapa lagi kalau bukan Ki Ageng Mangir. Nama
itu menggambarkan pengaruhnya yang begitu kuat di wilayah yang berada dalam
tampuk penguasaanya. Bukan tanpa alasan rakyat patuh terhadapnya, sosok Ki
Ageng bukan sudra yang lantas diagungkan, melainkan keturunan ksatria yang membrahmanakan
diri dengan memilih menepi menjalani “laku
prihatin” dibatas selatan pulau jawa. Dia merupakan salah satu keturunan
Majapahit sebagai bagian dari putra Brawijaya V yang tatkala wahyu kedaton
mulai pergi dan pergeseran budaya terjadi maka dia memilih bentuk pengabdian
lain dengan menyingkir dari urusan politik. Menjadi pengageng dari sebuah
padukuhan dengan balutan anugrah kesuburan maka kesejahteraan bukan lagi hal
yang dapat dinisbikan, tapi hanya butuh polesan kepemimpinan yang bijak untuk itu.
Dan Ki Ageng menjawab dengan charisma yang dimilikinya. Wibawanya tetap melekat
sebagai trah nata, pencapaian dalam rohaniahnya dalam mencapai tataran makom
yang mendekatkanya kepada sang Penguasa
Yang Sejati. Ini sebanding dengan jasmaniahnya yang ditandai dengan ilmu
kadigdayan dan olah kanuragan yang cukup mumpuni. Sehingga nama penguasa Mangir
itu cukup menggetarkan hati bagi siapapun dari jagad persilatan yang
mendengarnya.
Inilah yang menjadi pertimbangan kuat bagi
Panembahan Senopati untuk memilih strategi dalam menundukkan mangir sebagai
bagian dari kekuasaan Mataram yang memulai sejarahnya setelah membuka hutan Mentaok
sebagi cikal bakal wilayahnya. Jauh dari lubuk hati sang Panembahan berbisik
jujur, alangkah lebih eloknya jika dia sendiri yang “sowan” menuju kemangiran menunjukan “sungkem” dan memohon restu untuk imperium yang hendak digelarnya.
Namun akal fikirnya dengan lumuran nafsu menolaknya dengan tegas dan berteriak
lantang, bahwa engkau seorang calon penguasa besar, pemimpin Negara, tidak
sepatutnya melakukan tindakan “hina” karena merendahkan dirimu. Dan masih
berlanjut “ undang Mangir untuk “sowan”
dan menyembahmu, menyatakan tunduk dan patuh akan kekuasaanmu” maka kau baru
menjadi penguasa yang layak diagungkan. Nuraninya terkalahkan oleh ambisinya,.
Jauh di Mangir sana, Ki Ageng lantas berguman
dalam hati berdebat akan siapa Senopati, siapa yang selayaknya “sowan” siapa yang selayaknya “jumeneng Nata” siapa yang lebih pantas
mengatasnamakan pelanjut trah Majapahit?. Bukankah kita sama-sama dari Rahim
keagaungan masa silam, tapi darahku lebih pekat, lebih kuat, lebih tua. Oleh
karena itu selayaknya aku tetap disini dan Senopati tetap disana. Sikap yang
diambil oleh Mangir, menyulut emosi Senopati dalam upayanya merakit suatu
imperium maka tindakan Mangir dicap sebagi salah satu bentuk makar,
pembangkangan terhadap Negara, namun bukan dalam pandangan Ki Ageng. Sebuah
keputusan diambil oleh senopati “Mangir harus ditakhukkan”!
Senyum kecil terurai dari sang penasehat, sesepuh
Mataram, seorang yang turut membidani lahirnya Negara. Senyum itu yang mebuat
Raja mempertimbangkan kembali keputusanya, apakah arti dibalik senyuman
tersebut? Lalu bagaimana dengan angan si Pembayun?
Bersambung.....
Komentar
Posting Komentar