"Perjuangan dan Kenyataan"

Perjuangan dan Kenyataan
Oleh :  Djoyo Bolodewo

Tatkala seseorang yang tanpa batas dalam keprihatinan, teguh menjalani laku tak gentar dalam berikhtiar harus menerima takdir yang tidak sesuai dengan keinginanya maka dia mencoba untuk menerima ikhlas kenyataan tersebut dan percaya “ Gusti Allah Ora Sare”. Setiap usaha tidak ada yang sia-sia karena hasil itu hanya masalah waktu.

Itulah Ki Ageng Selo, tokoh dari Purwodadi tepatnya adalah seorang panutan bagi warga Selo yang hamper tak pernah using dari ingatan masyarakatnya hingga saat ini. Beliau mempunyai garis keturunan dengan trah Majapahit dari raja Brawijaya V. Kala itu sang raja yang sedang mengidap penyakit kelamin diharuskan menikahi seorang perempuan wandan berdasarkan petunjuk untuk kesembuhanya, sehingga dari puteri wandan kuning ini lahirlah seorang bocah laki-laki yang nanti akan dititipkan dan dibesarkan oleh seorang sesepuh desa Tarub. Bocah tersebut bernama Lembu Kapetengan atau yang kelak lebih dikenal dengan nama Bondan Kejawen. Setelah dewasa dipasangkan dengan putri kinasih Ki Ageng Tarub dengan seorang bidadari Nawangwulan, putri tersebut bernama Nawang Sih. Bondan Kejawen yang menjadi penggede Tarub menggantikan mertuanya berputera Ki Getas Pendowo, dari beliaulah lahirlah seorang yang tangguh baik secara jasmani dan rohani seorang laki-laki yang bernama Ki Ageng Selo.
Setelah pergeseran kekuasaan dari Majapahit menuju Demak maka dimulailah era baru edeologi perpolitikkan kerajaan saat itu dari Lokal-Hindu-Budha menuju Islam dengan daulahnya di Jawa dibawah kuasa Raden Patah dengan dukungan para wali. Atas jejak kejayaanya di masa silam sebagai kerajaan besar maka para putra-putri Brawijaya V berupaya untuk kembali mewujudkan kejayaan yang tinggal cerita. Terpupusnya singgasana Majapahit dengan kemunculan demak memunculkan polemic bagi para putra yang merasa berhak atas tahta taupun bagi mereka yang berharap aliran darah biru yang ada dalam nadinya mampu menyambut datngnya kembali sang wahyu kedaton dan berharap dapat mengibarkan kembali kejayaan bendera Gula Kelapa panji kebanggaan Wilwatikta. Putra-putri banyak yeng menyingkir keberbagai daerah, menjadi penggembleng sepiritual dan fisik masyarakat secara langsung, membuka daerah baru, menyebarkan ajaran agama yang baru dianutnya dan segala macam aktifitas yang mampu menciptakan lingkaran pengaruh sebagai orang besar bagi masyarakat disekelilingnya.
“Topo broto” merupakan jalan yang diyakini mampu mendekatkan makhluk dengan penciptanya dengan laku prihatin yang kuat maka permohonan dari setiap doa dan ikhtiar dapat dekat dengan kenyataan. Ki Ageng Selo berharap dirinya mampu menghidupkan kembali kejayaan leluhurnya. Harapanya besar untuk menjadi “Ratu ing Tanah Jowo” dengan ikhtiar yang tiada tandingnya. Bukan hanya pendekatan spiritual yang dilakukanya Ki Ageng juga menyempatkan untuk melamar menjadi Tamtama di kerajaan Demak untuk mendekatkan dengan cita-citanya. Kadigdayaan yang dimilikinya tidak lagi diragukan bahkan aksi heroiknya tentang menangkap petir mendengung keras bagi semua orang. Namun Allah mempunyai kehendak lain atas takdirnya, meskipun dikenal sebagai sosok sakti mandraguna “Satriyo Pilih Tanding”  namun gagal diterima prajurit karena “rasa welas asih” yang dimilikinya cukup kuat ketika dia memalingkan wajahnya melihat tumpahan darah dari kepala banteng yang remuk oleh hantaman tanganya yang terjadi dalam tes calon prajurit. Peristiwa tersebut membuatnya kecewa karena menjauhkan dari cita-citanya sehingga membuatnya melakukan tindakkan mbalelo dengan membawa ratusan santrinya mencoba mengacaukan istana Demak, dan kembali Allah berkehendak lain. Ki Ageng kembali ke Selo dan menepi dengan keyakinan harapan yang belum sirna untuk menjadi raja. Laku prihatin terus menjadi ikhtiarnya dengan penepianya yang tertuang dalam “Serat Pepali” membuktikan pencapaian tingkat spiritualnya yang luar biasa. Lantas apa yang kurang darinya? “Trahing Noto” dia sebagai trah Majapahit  meski dari puteri wandan, “Berbudi luhur” sebagai tokoh masyarakat yang mengajarkan ajaran kebaikan cukup untuk mewakilinya, dengan “topo broto dan laku prihatin” yang kuat dilakukanya, maka bukan tidak mungkin untuk “ turunya wahyu kedaton” kepadanya. Namun takdir Illahi berkehendak lain. Prahara di Demak setelah meningganya Sultan Trenggono menampilkan seorang tokoh baru. Seorang “bocah” mungkin bagi Ki Ageng Selo saat itu, karena bocah itulah yang pernah berguru juga kepadanya, pernah menjadi adik seperguruanya kepada Sunan Kalijogo. Bukan salah juga jika Ki Ageng mungkin berujar” jika aku tahu bocah ini yang akan menjadi Raja Jawa yang mnumpas cita-citaku, kubunuh saja waktu datang kepadaku untuk belajar dari pada aku harus menempanya untuk menjadi manusia utama” ujarnya mungkin. Namun sekali lagi ada kuasa yang jauh diatas kuasanya. Bocah itu bernama Joko Tingkir putra kebo kenongo keturunnan Pangeran Handayaningrat menantu Brawijaya, masih Trah Majapahit.
Mungkin Ki Ageng kembali bermuhasabah akan laku ikhtiarnya jika ternyata Allah lebih memilih Joko Tingkir “ Bocah wingi sore” untuk menjadi Raja. Mungkin saja laku prihatinya kalah kuat dengan Mas Karebet, mungkin aliran darah birunya kalah kuat, dari berbagai kemungkinan itu, lantas beliau tidak pupus dalam pengharapan. Rangkaian jalan cita-cita yang telah dilampauinya dengan kuat sampai saat ini belum saatnya menunai hasil, dalam doanya bukan lagi untuk dirinya namun ijinkan anak keturunanya kelak ada yang terpilih untuk menjadi manusia pilihan. Dia tidak menyalahkan Allah, dia tahu akan kodrat dan takdir, kembali dia berserah diri. Namun satu keyakinan “Gusti Allah Ora Sare” Dia melihat ikhtiar makhluknya, dan semua tidak ada yang sia-sia dalam perjuangan. Terkadang Allah membuat sebuah takdir yang diluar kehendak dan usaha makhluknya bukan berarti Dia tidak ingin, tapi Dia ingin sesuatu yang paling baik buat kita. Peristiwa dapat kita bayangkan bagaiman seorang Ki Ageng Selo yang punya ambisi yang begitu besar untuk menjadi Raja, terwujudkan keinginanya, adakah yang berani menjamin ambisinya tidak mengalahkan keluhuran budinya untuk “ambeg adil poro marto”. Lantas,mampukah pengaruhnya untuk menghentikan gejolak politik yang begitu panas dlam pergeseran kekuasaan di Demak. Banyak hal yang Allah lebih tahu akan kebaikan. Dia bukanya tidak terpilih, beliau tetap terpilih. Terpilih untuk menjadi tokoh besarbagi masyarakatnya terpilih untuk menjadi manusia yang kelak namanya akan terpatri sebagai leluhur penguasan Jawa dikemudian hari, seperti yang dicita-citakanya. Benarkah?....

Komentar

Postingan Populer