Pendidikan dan Ironi Negeri ini
Pendidikan
dan Ironi Negeri ini
Oleh
:
Oleh : Wahyu Djoko
Sulistyo
Berbicara
mengenai potensi Indonesia sebagai Negara yang besar tak akan pernah ada
habisnya. Tidak perlu menggunakan analisis mendalam dengan literasi dan diskusi
yang berat untuk mengungkapkan landasan kejayaan yang dimiliki negeri ini.
Cukup secangkir kopi dan lesehan dengan bersendau gurau kita dapat menyingkap
kekayaan yang dimiliki negeri ini tampak cetho
welo-welo tanpo tedeng aling-aling!”. Dari menyingsingnya sang surya hingga
cakrawala kembali menyapa, keagungan bumi pertiwi ini tak akan habis dalam
perenungan dan diskusi. Namun kita musti sadar kemasyuran tidak cukup dalam
angan-angan meski butuh dimimpikan, keagungan tidak lantas menghiasi perenungan
dan kebesaran tidak tercapai jika hanya kita diskusikan. Yang seharusnya bisa
menjadi hampir tak mungkin, itu yang seketika menghentikan obrolan santai ini
dan kita kembali tersenyum nyinyir dan berbisik lirih “Ironis”. Negeri yang
ironi, mungkin itulah ungkapan yang akhirnya kita sambut dengan canda tawa
dalam kita menggambarkan Indonesia kini. Negeri dengan 17.504 pulau yang
berjajar dari sabang sampai Merauke menempatkan kita sebaga Negara kepulauan
terbesar di dunia, yang memiliki 2/3 wilayah perairan dari seluruh luas
wilayahnya yang mencapai 5juta km² lebih, yang sebagian penduduknya bergantung
nasib dari sektor pertanian dan maritime. Tapi untuk kebutuhan pangan kita
tidak mampu memenuhi sendiri, dengan menutup mata untuk kebutuhan rakyat hingga
“Hanya” garam kita bergantung pada Negara lain, dimana gelar kita sebagai yang
mempunyai wilayah lautan tidak hanya luas namun juga terkaya!. Berangkat dari
satu contoh kasus diatas, tidak malukah kita dengan masa lalu sebelum nama
Indonesia tersematkan untuk melabeli gugusan pulau di tenggara lautan Hindia.
Bangsa lain mengenal kita dengan identitas yang mereka ciptakan sendiri untuk
mendeskripsikan suatu tempat impian yang kaya raya alam dan budayanya hingga
terlahir istilah Swarnabhumi, Jawadwipa dll. Cukupkah itu untuk mengantarkan
kita untuk menemukan kepercayaan diri kita sebagai Negara besar yang kini
terkoyak-koyak oleh zaman yang menenggelamkan kita dalam ketidakberdayaan.
Sejak nama Indonesia terdeklarasikan sebagai Negara yang merdeka 70 tahun
silam, bangsa ini telah melangkah meninggalkan masa lalunya, ya benar-benar
meninggalkanya untuk obsesi menjadi Negara besar tanpa akar. Mentalitas
Inlander yang dulu ditanamkan oleh penjajah kepada pribumi untuk kelanggengan
praktek “sapi perah” terhadap kekayaan yang kita punya, sekarang serasa telah
mendarah daging dalam semangat kita,. Lantas masih lantangkah kita berbangga
“Indonesia telah merdeka” dan 70 tahun berjalan dalam tujuan yang semakin
enggan untuk dicapai. Jikalau boleh berharap pada manusia Indonesia seutuhnya,
boleh kiranya menanyakan kesiapan mereka menyongsong kejayaan, menyinggung pada
manusianya, lihatlah generasi penerusnya. Ingin menuntut kepada generasi muda,
lihatlah pengetahuanya dan kesadaran nasionalnya, dan ragkaian sebab akibat lainya
yang nantinya akan berujung dengan bagaimana pendidikan di negeri ini?
Inikah
Pendidikan?
Boleh
dikatakan pendidikan kita sejauh ini seperti berjalan tanpa arah. Lupa akan
tujuan yang termuat dalam konstutusi dasar kita untuk mencerdaskan bangsa.
Sulit memang untuk memisahkan pendidikan dari kepentingan politik disebaliknya,
namun paling tidak jangan sampai pendidikan turut dipolitisir. Jika kita tengok
secara lebih mendalam bagaimana masih terombang-ambingnya pemerintah dalam
menetapkan tujuan jangka panjang akan pelaksanaan pendidikan jika kita melihat
fenomena terbaru dengan inkonsistenya pelaksanaan kurikulum. Disisi lain kita
dapat menyaksikan bagaimana peserta didik kita yang semakin jauh dengan
nilai-nilai, aktif dalam aksi tawuran dan tindakan menyimpang, membuat kita
bertanya kegiatan belajar apa yang berlangsung di kelas hingga siswa cenderung
berperilaku negative,meski tidak semua. Profesionalisme guru dengan gaung
sertifikasi juga belum mampu menjawab harapan dengan sepenuhnya, yang terjadi
malah seperti korelasi yang terbalik, kesejahteraan meningkat namun kualitas
pengajaran masih jalan ditempat. Sehingga boleh dikatakan sertifikasi hanya
semacam label yang tersetempel legal bukan soal professional guru sejati.
Lantas
bagaimana proses pembelajaran yang tengah berlangsung, apakah ilmu dan
pengalaman mampu mereka hayati atau sekadar mereka terima?, secara praksis
bagaimana mereka akan mengahayati ilmu dari proses pendidikan itu jika dalam
kegiatan belajar mereka bagaikan terbelenggu. Tervonis oleh tataran angka-angka
satuan nilai yang harus mereka tuntaskan dengan mengesampingkan nilai utama
dari kegiatan belajar. Masih terlintas kuat ketika ada semacam perwakilan
malaikat maut di dunia pendidikan dengan sandi UN. Ini pernah menjadi momok paling
menakutkan, dan tertanam paradigm akan berhentinya hidup jika gagal lulus UN.
Ini berdampak pada pergeseran tujuan pendidikan untuk lulus UN, melewatkan
proses belajar yang telah dilalui dan focus pada UN yang validitas hasilnya
perlu untuk dikaji ulang. Fenomena diatas adalah satu contoh yang terjadi
dinegeri ini.
Kita
musti berani bermimpi,pendidikan yang benar-benar mendidik, berbasiskan dialog
kasih sayang dan nilai humanisme menjadi corak yang khas menghdiasi proses
berlangsungnya pendidikan. Sehingga transfer nilai dan pengetahuan mampu
tersampaiakan dan menjadi alat penyadaran sebagai manusia yang seutuhnya.
Pendidikan menjadi milik semua dan berlaku sama tanpa diskriminatif atau lebih
arogan lagi ketika pendidkan diakuisisi oleh sebagian kelompok elit secara
regenerasi yang terstruktur. Hanya
menyisakan sedikit ruang bahkan hamper taka da bagi golongan mayoritas yang
justru tersusun dari lapisan masyarakat kelas bawah. Yang termakan mitos bahwa
lapisan ini merupakan nasib yang mentradisi padahal ini hanya sistem untuk
mempermanenkan kelas mereka dan dominasi minoritas elit capital. Bukan
konstitusi dasar kita menetapkan secara jelas akan hak mendapatkan pendidikan
yang termaktub dalm UUD 45 pasal 31 dan penjelasanya. Lantas kita ketahuai
secara umum penyelenggaraan pendidikan belum mampu menyentuh seluruh lapisan
social masyarakat di negeri ini. Banyak factor yang mempengaruinya, mulai
kesadaran belajar hingga biaya pendidikan yang kini semakin membabi buta sesuai
besaran laba yang hendak diraih. Banderol-banderol harga menjadi legal dan
lumrah dengan jubbah pencapaian prestasi yang ditorehkan oleh sekolah tersebut.
Inilah yang semakin melupakan hasrat belajar bagi kaum mayoritas di negeri ini.
Sempat beberapa saat kita terjerumus dalam komersialisasi pendidikan dalam
topeng RSBI dan segala macam bentuknya. Sehingga semakin mempertegas porsi
mereka untuk siapa dan untuk apa. Data statistika menunjukan 100 juta atau 42%
dari total penduduk Indonesia hidup dalam garis kemiskinan. 55% siswa-siswi yang
berasal dari keluarga tidak mampu menyelesaikan pendidikan menengah pertama.
Dari 28 juta penduduk berusia 19-24 tahun, hanya 17,2% yang mampu mengenyam
pendidikan tinggi, dengan hanya 3,3% diantaranya berasal dari keluarga tidak
mampu. Ini menunjukan jika pendidikan formal belum sepenuhnya untuk warga
Negara.
Berbagai
permasalahan pendidikan diatas hanya sedikit contoh sajian yang terjadi di
negeri ini. Banyak elemen pemerhati pendidikan yang mengkritisi masalah
tersebut dengan berbagai solusi alternative yang ditawarkan. Namun dalam
kenyataanya perubahan yang direncanankan belum menunjukan hasil yang
signifikan. Filsafat pendidikan kritis mendasari pemikiran yang rasional untuk
melihat kenyataan. Mengajak semua elemen baik dari dalam maupun luar elemen pendidikan
untuk menyikapi secara kritis setiap mekanisme yang berlangsung sehingga mampu
menolak dominasi yang ada untuk merevolusi dengan mekanisme baru.
Mendobrak
Dominasi
Dominasi
kapitalisme di negeri ini tidak dapat disangsikan lagi bahkan bagi sebagian
masyarakat kita merupakan hal yang lumrah di eara modern ini. Apa lagi bagi
mereka yang turut mencicipi bagian dari keuntunganya akan menjadi pembela jika
berbenturan dengan kaum peduli social yang mencoba mengkritisi situasi ini.
Sadar atau belum sadar bahwa invasi kapitalisme yang merambah dalam sendi pokok
kehidupan itulah yang Soekarno katakan akan merubah kita yang bangsa kaya
menjadi bangsa kuli. Itu artinya kita tidsak akan pernah menjadi Negara yang
besar. Kecuali kita berani mendobrak situasi ini dan memegang peranan utama
dalam membangun bangsa.
Pendidikan
menjadi jalan pendobrak tersebut dengan mengandalkan serdadu kaum terpelajarnya
dan senjata ampuh pengetahuanya. Ini yang secara konsistent akan mampu
memberikan perlawanan yang kuat terhadap dominasi kapitalisme di negeri ini.
Itupun jika kenyataan tidak berkata yang sebaliknya. Bukan sebagai pendobrak dominasi namun justru menjadi
pelanggeng dari dominasi tersebut. Dan yang kta lihat sekarang dengan data yang
ada, masihkah kita berani berharap banyak?
Sebagai
bangsa yang punya mimpi besar dan didukung oleh modal potensi yang luar biasa,
kita tidak boleh berhenti berharap. Pendidikan harus tetap menjadi tulang punggung
perubahan. Sekolah dan kegiatan pembelajaran di dalamnya harus mampu
melaksanakan tugas dan perananya dengan relevan. Kegiatan belajar tidak musti
digelar dalam kelas, dimana terdapat tranformasi pengetahuan disitulah proses
belajar terselenggara. Jika sekolah formal tidak mampu menjawab maka sekolah
alternative bias menjadi solusi. Menilik sejarahnya ketika golongan mayoritas
tidak mampu menjangkau sekolah formal yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Maka tumbuh kesadaran bagi intelektual yang sadar akan kondisi ini dengan
menyelenggarakan sekolah alternative yang mempunyai standar tersendiri dan visi
yang menyadarkan akan arti kemerdekaan dan pastinya sekolah untuk kaum
mayoritas. Sekolah Rakyatnya SI di Semarang yang digawangi oleh Tan Malaka
turut mewarnai adanya gerakan kritis dalam menyikapi situasi pendidikan saat
itu. Meski akhirnya dibekukan oleh pemerintah yang merasa semakin terusik
dominasinya, namun perkembangan sistem sekolah alternatif untuk menampung
kelompok mayoritas semakin tak terbendung dan melahirkan kelompok masyarakat
yang sadar akan nasibnya layak untuk diperjuangkan.
Keberadaan
sekolah alternatif saat situasi sekarang tak kalah hebatnya melengkapi khasanah
penyelenggara pendidikan. Tanpa mengesampingakan yang masih memegang idealisme
sekolah bagi rakyat, mari kita tengok mereka dalam label sekolah swasta
unggulan. Unggul dalam fasilitas, pelayanan dan pastinya unggul dalam tariff
pendidikan. Lantas seperti inikah cita-cita pendidikan bagi seluruh bangsa
Indonesia.
Pedagogi
kritis memainkan perananya disini. Bukan sekedar menyoroti sekolah untuk siapa
dan untuk apa. Namun untuk menjawab itu semua harus dijelaskan secara teoritik
dan praktik. Melipusti seluruh aspek dari pendidikan itu sendiri, bukan hanya
raganya namun ruh dari pendidikan itu harus dikritisi. Bentuk pengkritisan
untuk dijadikan evaluasi yang mendalam sehingga pendidikan mampu menjawab
sebuah tantangan jaman. Mulai kebijakan pemerintah terkait pendidikan hingga
proses berlangsungnya interaksi guru dan murid di kelas. Guru memegang peranan
penting dalam proses pendidikan, pastinya tanpa mengesampingkan kebijakan
pemerintah, dan kurikulum yang tersepakati. Guru menjadi pelaku vital yang
berinteraksi langsung dengan murid di kelas. Yang seharusnya mampu menyingkap
tabir gelap dan kuno yang mengangkangi fikiran, hati dan semangat mereka dalam
mengusung semangat perubahan. Henry Girouk sebagi tokoh pedagogi kritis percaya
bahwa peran guru memiliki tanggung jawab besar dalam menentang neoliberalisme
dengan mengusung budaya demokrasi politik di sekolah.
Bagi Fraire,
pendidikan adalah sebuah upaya yang memungkinkan seseorang mengubah dinamika
sosialnya. Seseorang yang belajar harus mampu membangun nalar kritisnya,
kesadaran kritis untuk peka terhadap dinamika masyarakatnya dan dengan
pengetahuanya mampu membawa perubahan bagi masyarakat. Kita harus membangun
sebuah konsep baru tentang pedagogi kritis yang mampu diejawentahkan oleh
Negara-negara maju untuk mempersiapkan masyarakatnya yang memahami hakikat
belajar dan pengetahuan. Arena inilah jalan yang paling nyata dalam mewujudkan
cita-cita kejayaan di masa depan yang terjangkau, sehingga tidak malu lagi kita
membanggakan kejayaan masa silam. Mungkin!.Disampaikan dalam bedah buku Berfikir Kritis " Mahasiswa prodi sejarah SI FKIP UNS,27-11-2015
Komentar
Posting Komentar