"Berburu Mentari di Kubah Mahameru"



"Berburu Mentari di Kubah Mahameru"
"kilau paginya sungguh mengagumkan, menggetarkan jiwa yang menatapnya, menawarkan kedamaian bagi yang gulana, membuai kita dalam mimpi dan angan-angan hingga akhirnya tersentak sadar oleh dentuman letupan kawah yang menganga dengan kudapan asapnya!Menggelegar!! dan tersadar untuk terus berjuang dalam hidup dan kehidupan"MbelGedes.Coy!
Oeeee…..ayo puncak!!!!!!!!! Teriakan – teriakan itu membangunkan kami, semacam solidaritas antar pendaki yang ngecamp di tempat itu dengan sesame pendaki. Derap langkah semangat mulai terdengar menyusuri hutan gelap itu. Kita terbangun dan melemaskan punggung sejenak sembari benar-benar membuka mata menuju kesadaran penuh. Saatnya melawan ego kita, dingin, males, ngantuk, capek dan sejuta rasa lainya seakan menahan kita untuk beranjak dan melangkah. Tapi kita bangun, kita beranjak, kita berkemas, kita berdoa, kita yakin dan akhirnya berangkat tanpa sesal! Namun sebelumnya agar-agar menjadi sumber energy kita. Hasil olahan semalem terasa nikmat di pagi itu, serasa keluar dari lemari es. Kita berlima menyantapnya tanpa sisa. Setelah persiapan semuanya beres dengan membawa satu tas dypack dan senter kita mulai berkumpul melakukan puja-puji dan ditutup dengan, “Nganglang Jagad? Uyee!!!. Tepat 00.30 kita ayunkan kaki memasuki batas vegetasi antara sabana kali mati dengan hamparan kubah pasir mahameru. Memasuki hutan tersebut dengan jaminan setiap jalur yang kita lalui tanpa kompromi. Jangan berharap bonus jalan landau kembali, yang ada tanjakan demi tanjakan terhampar di depan mata kita menantang kaki-kaki kecil ini untuk melewatinya. Untuk track kali ini suasananya sedikit beda, entah kenapa mulut ini memilih terkatub dari pada melontarkan sendau gurau seperti sebelumnya. Mungkin dingin masih menjadi sosok menakutkan dipagi itu. Dengan penerangan cahaya senter kita terus bergerak maju menyusuri hutan gelap lengkap dengan tanjakan yang lupa bagaimana cara kita melewatinya. Hingga kita tiba pada batas terakhir vegetasi, kita berguman satu tempat terlewati atau mungkin tidak kita kenal ditengah kegelapan malam yaitu Arcopodo. Dimana Arcopodo? Seharusnya kita lewati karena kita sudah tiba di “Cemoro Tunggal” satu-satunya cemara yang tumbuh dan tersisa di lereng pasir itu. Waktu menunjukan pukul 02.00, gemerlap senter para pendaki seperti iring-iringan kereta ditengah jalanan kota yang macet. Puncak yang hendak kita tuju masih berselimut gelap, setelah beristirahat sejenak kita kembali melangkahkan kaki menyusuri pasir yang sedikitpun tidak mau diajak kerja sama. Setiap kami injak seakan ingin melepaskan dari pendindasan dengan berlari turun atau longsor. Sehingga track inilah yang dikatakan sebagi tantangan terberat untuk menuju surge para dewa di atas sana. Disini kita mesti ekstra hati- hati. Harus melangkah dengan cermat dan waspada penuh. Konsentrasi mau tidak mau harus focus dan peka terhadap keadaan di sekitar kita. Labilnya kondisi medan itu banyak menyisakan cerita mengerikan yang kita dapatkan di Ranu pani kemarin sebelum berangkat. Pasir dikubah ini sifatnya labil, dua kali melangkah selangkah turun ketika kita salah berpijak atau berpijak pada batu dan longsor maka nasib buruk bagi teman-teman di bawah kita yang tidak waspada dan sedang bernasib sial. Fakta itu berulangkali terjadi dan selalu disampaikan kepada para pendaki gunu meningkatkan kehati-hatianya. Belajar dari pengalaman itu pada akhirnya yang menguatkan kewaspadaan kita. Berulang kali terdengar teriakan isyarat dari rombongan diatas kita “rock” berarti kita mesti siap siaga ada batu meluncur dari atas yang harus kita hindari atau tahan demi keselamatan bersama. Tak terhitung berapa kali kita harus terhenti untuk kembali mengemasi nafas-nafas yang tercecer dalam balutan keringat namun menggigil.
Gemblegar terdengar ditengah sayup-sayup angina yang berdesis kencang. Mata belum mampu menatap dengan jelas tentang apa yang terjadi namun suara it uterus terdengar secara teratur dalam hitungan waktu. Penasaran semakin mendorong hati dan semangat ini untuk terus berpacu dengan waktu dan menatap keindahan di atas sana yang selama ini masih seperti misteri buat kami. Dan perlahan gelap itu mulai tersingkap, sang raja siang melirik sipit dari ufuk timur menyapa para pendaki dengan sorot keindahanya. Ketengok waktu ditangan tertunjuk pada angka 04.45 waktu yang terbilang masih cukup untuk lelap ternyata disisi lain menyuguhkan sebuah pesona yang sesungguhnya mempesona. Sapaan sang raja jagad itulah yang menjadi pelecut bagi sisa-sisa semangat kami karena kubah itu akan segera berakhir. Perjalanan ini semakin jelas mana tepinya. Hamparan awan kabut dengan siluet emas menyala terpapar diatas sana dan aku berbalik di belakngku hamparan gumpalan awan putih menggelombang bagai lautan. Kami berdiri di atas lautan awan kemegahan. 

05.00. 23.12.2014. mungkin menjadi catatan waktu yang pantas dan layak untuk kita patri dalam memori. Waktu itu kita mampu berdiri diatas megahnya Mahameru menghirup udara kebebasan, menikmati jagad tersenyum dengan ramahnya, menatap sang surya tanpa ragu dan malu, mendekap angina dingin tanpa gelisah bercerita pada gelegar letupan kawah Mahameru dan dengan sadar percumbuan dengan sang waktu di puncak Mahameru berlangsung dengan mesranya sampai waktu itu pun yang memaksa kita untuk melupakanya. Setelah kali tersadar kami berujar dengan lidah dan bibir yang tergetar “ Maka nikmat Tuhan apa lagi yang hendak kalian dustakan?!” masih sanggupkah kepalamu mendongak dan kau dengan sombongnya berjalan tegak ditengah keagungan yang Maha Agung ini! Malu! Dan memalukan yang kita rasakan sebagai segelintir umat manusia yang bagaiakan debu tipis yang tiada berarti ditengah – tengah kekuasaaNya. Kembali kita tertenduk dan semakin tertunduk ditengah sujud shubuh yang kami ritualkan. Atas nikmat ini dan kemurahaNya kita tiba di pelataran langit. Serpihan kekuasaan Allah yang mengharukan, bahwa inilah misteri yang selama ini menyelimuti benak kami. Kutatap Merah Putih lusuh sedikit koyak berdiri tegak dengan kibaran yang terus bersemangat tanpa lelah menyangga papan seng berukirkan “ Mahameru 3676mdpl”. Siluet pagi menusuk kalbu, namun bukan kepedihan yang kami rasakan melainkan kebahagian yang tiada tara.
Kembali gelegar letupan kawah mahameru yang terjadi setiap 15 menit menyadarkan dari ketidak sadaran. Sesi pemotretan yang kita jalani dirasa cukup, kita telah mengekpresikan kebahagian masing-masing diantara kita dengan berbagai pesan dan telah berjalan 1 jam. Tepat pukul enam setelah pose bersama dengan sang saka merah putih kita sepakat untuk memutuskan kembali turun. “Nganglang Jagad?! Uye! Kembali menggema dan kita berjalan kembali menyusuri tebing pasir yang kini dengan penerangan alam Nampak jelas bahwa yang kita lalui semalam benar-benar sesuatu yang layak diperjuangkan. Namun perjalanan untuk turun mampu lebih cepat. Hamper separo nya dari perjalanan menaikinya kita mampu mempersingkat waktu. Saya sengaja mendahului teman-teman dengan menggunakan kemampuan gintiran sewu untuk bergerak lebih cepat daripada yang lain. Satu jam waktu yang saya butuhkan hingga sampai di Kalimati tempat semalam kita beristirahat. Segera saya persiapkan dua gelas kopi dan susu sebagai penyambut haus ketika teman-teman datang. Satu jam berikutnya pasukan lengkap dan kita menikmati sajian santap siang nasi lauk sarden dan ikan asin yang nikmatnya terasa tiada bandingnya karena taka da yang lain.he. setelah selesai santab pagi agak siang dan datanglah rasa kantuk raena lapar telah terjawab kita memilih untuk istrhat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Namun Ipong dan Tambak tampil layaknya dewa dengan mengajukan dirinya untuk menambah persedian air untuk perjalanan turun. Mereka menyusuri sabana bertebing untuk mencari sebuah sumber air yang dipercaya sebagai tetesan air suci “ sumber mani” hingga mereka kembali ketenda kita tidak menyadari karena dalam keadaan terlelap.
Awan sudah mulai menebal hingga tampak suram seakan tak mau bersabar lagi menunggu sore, kita pun sepakat untuk meninggalkan area kalimati dan menikmati malam di ranu kumbolo sesuai apa yang telah terencana. Ternyata prediksi kami tepat. Selesai berkemas rintik-rintik hujan mulai menerpa bagian terluar dari tubuh kami sehingga kita semakin mempercepat proses berkemas diri yang diakhiri dengan menggunakan selimut plastic tipis sebagai pelindung dari guyuran hujan. Selepas berdoa hujan benar-benar turun mengiringi langkah kami meninggalkan pesona tempat itu, namun kami sempatkan untuk mengambil kenangan bersama untuk membalas keramahannya. Perjalanan terasa ringan dan lepas, kaki tertatih melangkah namun sesekali menoleh kebelakang Nampak keagungan yang diselimuti kabut membuat hati ini bergetar tanda berat, namun kita mesti berpisah dengan Mahameru. Hujan semakin lebat mengiringi langkah kami. Dalam hati berguman jika hujan begitu saying dengan kami dan tak mau berpisah dari berangkat hingga pulang dalam perjalanan menyusuri lembah tersebut setia menemani meski ada sedikit rintih,hujan lagi…..he. rasa yang lain ketika menyusurim oro-oro ombo dalam balutan hujan dank abut terasa sensasinya yang luar biasa, apalagi setiba di ranu kumbolo yang tampak dari bukit cinta. Meski tak seindah jika Nampak dalam situasi yang cerah, namun kabut yang bergumpal merampas hak pandang kami tetap menciptakan pengalaman yang lain terhadap keindahan dalam situasi yang berbeda. Hujanpun tak kunjung reda, setelah sejenak berteduh di gubug pos yang dipenuhi sesak para pendaki yang menghindari tetes hujan, trio pendekar kita (Qodir, Tambak, Ipong) merelakan diri bergelut dengan derasnya hujan untuk membangun tempat singgah untuk bermalam kami. Saya dan Huda menyaksikanya dari jauh sambil menggelengkan kepala, sungguh pengorbanan yang luar biasa. Setelah tenda berdiri hujan pun belum mencukupkan buaian airnya pada bumi ini. Nampak trio Pendekar kami yang mulai menggigil dalam telanjang dada, hingga akhirnya semangkok bakso malang yang nyasar hingga ranu kumbolo menjadi menu santap kita untuk mengusir dingin dan lapar. Mungkin menjadi kenangan bagi kita bahwa itu merupakan bakso paling lezat yang pernah kina nikmati selama ini. Sekali lagi situasi dan kondisi menjadi penentu akan sebuah rasa. Hujan mulai menyisakan rintik – rintiknya kita menuju tenda, menanggalkan semua pakaian basah dan berselimut sb sambil menikmati kopi, susu dan tak lupa tolak angina hingga belum terhitung larut malam, satu persatu mata kami mulai menutup diri. Suara hujan berganti dengan auman dengkuran kelelahan dari saluran pernafasan kita berlima. 

Pagi kita terbangun dengan senyum dan gurauan, siapa lagi semalam yang berubah menjadi harimau?? Hehe. Satu persatu tertawa dan berganti keluar menyusuri semak untuk bersedekah bumi. Ranu kumbolo masih seperti kemarin asyik bercengkerama dengan tebalnya kabut dan belum mau berbagi keindahan dengan kami. Namun kami berdoa sebelum kita meninggalkanya nanti ada sedikit waktu luang untuk kita dapat berpamitan dengan keindahanya. Selesai bersih-bersih peralatan doa kami terjawab, sang Surya menampar kelesuan kami untuk kembali bersemangat dengan menyingkirkan dominasi kabut yang menyelimuti danau itu. Kesempatan bagi kami untuk menjemur pakaian basah dan segala piranti. Cukup 4 bungkus mie instan yang kita jadikan sumber energy bagi perjalanan turun nanti, lantas kita ubah dengan aneka rupa namun tetap berwujud mie rebus kurang kuah pada akhirnya. Namun tetap nikmat untuk kita nikmati bersama dengan semilir angin dan kehangatan ramah danau surga tersebut. Langit semakin cerah ,warna biru menggantikan putihnya langit, menjadi saat yang tepat bagi para pendaki untuk berpose mencuri keindahan bersama karena hanya itu yang boleh dicuri dari sang alam. 

Semua harus kita cukupkan, dan pepatah mengatakan orang bijak tahu kapan dia harus berhenti. Supaya kita menjadi bijak maka kita berhentikan semua aktifitas, kita berkemas membersihkan tempat dan sedikit berjiwa pecinta alam dengan membawa plastic hitam besar untuk mengangkut sisa-sisa aktifitas kami. Langit cerah mendukung harapan kami untuk perjalanan pulang dalam kedamaian. Kita berdoa bersama seperti biyasa dengan akhiran sorak kegembiraan. Tak lupa kami meminta pesangon berupa foto keindahan bersama menyusuri tepian danau hingga tiba saatnya jejak-jejak langkah yang melingkari bukit sabana itu menjadi salam pemisah terhadap Ranu kumbolo dalam tanda hormat. Suatu saat kita akan kembali mengunjungimu! Terus kta berjalan pelan dan merasakan keheningan alam dalam cerita canda tawa kami berlima yang terus terangkai hingga perjalanan usai. Pelan tempo yang kita pilih dalam ayunan kaki tanda kita masih ingin berlama-lama di pesona perjalanan itu. Terus menyusuri bukit dengan berbagai vegetasinya dan sajian pos dalam setiap titik seperti yang kita kenali dalam pemberangkatan kemarin. Tiba saatnya terhampar kecil nan panjang susunan paving block tanda penyusuran pulang akan segera tiba di basecamp. Dan pukul 3 sora kita sampai pada sebuah gapuro yang kemarin menyapa pemberangkatan kita “ selamat datang para pendaki Mahameru”. Setelah melepas lelah sejenak samba berdoa syukur dan sedikit perenungan hakikat dari perjalanan yang telah kita lalui. Menyisakan beberapa langkah lagi ,ya beberapa langkah lagi untuk kembali bergelut dengan segala aktifitas. Aktifitas yang menjadi penyambung nadi kehidupan kita dan generasi setelahnya. Semoga ditengah segala aktifitas dunia tersebut kita masih menjadi bagian orang-orang yang tidak lupa dan selalu ingat dengan yang maha Mempunyai dan sesekali waktu mencoba untuk menikmati bagian dari Keagungan-Nya dimana damai dan sepi terasa pada falsafah sebuah perjuangan. InsyaAllah.. The End in season!..

Komentar

Postingan Populer