Merindukan Jiwa Kesatria!
Merindukan Jiwa Kesatria!
Oleh : Wahyu Djoko Sulistyo
“Siapa salah dia akan mengaku salah dan siap menerima hukuman setimpal
dengan perbuatanya! Sebaliknya jika dia benar dia akan perjuangkan hingga nyawa
melayang! Semua itu demi harga diri dan keadilan. Itulah jiwa ksatria! Dimanakah
kini? Kenapa sekarang yang salah berlomba membenarkan diri dan yang benar
tenggelam hingga disingkirkan?!”
Keberanian mengambil sikap itu
penting. Acungan jempol bagi mereka yang berani menentukan sikapnya ketika yang
lain hanya mengatakan iya dimulut namun lain dihati. Rela berpura-pura untuk
sebuah kepalsuan yang mengidentitaskan dirinya dalam bayangan semu. Sekan
jiwa-jiwa kesatriya sudah mulai berguguran. Tak ada lagi yang berani jujur
terhadap diri sendiri dan orang lain akan siapa dirinya dan perbuatanya. Banyak
pemenang yang sebenarnya adalah pecundang, banyak yang mengaku dewa yang
sebenarnya adalah iblis semuanya hanya demi pengakuan yang melihatnya dari sisi
yang tidak sewajarnya. Kata terakhir adalah turut berduka cita atas
meninggalnya jiwa kesatriya para manusia!
Teruntuk para pejabat publik di
negeri Impian ini! Kenapa saya katakan impian? Karena memang kenyataanya sejak
dahulu kala negeri ini menjadi impian bagi siapapun untuk menghuninya hingga
berebut untuk menguasainya. Namun kini yang dulu diimpikan menjadi cibiran,
semua menghujat semua memaki namun semua juga tersenyum, senyum kemenangan. Berbagai
polemic yang tak kunjung usai menerpa negeri impian ini. Dari murka sang alam
hingga arogansi si penguasa sampai pada titik amarah si rakyat semuanya turut
mewarnai gejolak di negeri ini.
Part 1
Teruntuk para pemimpin negeri
ini, kenapa dengan kalian? Bertubi-tubi cercaan itu terarah kapada kalian. Tak tanggung-tanggung
media terus menghujatmu dangan segala kepentinganya yang mungkin ada. Paradigma
rakyat entah rusak atau dirusakan oleh keadaan turut memvonismu sebagai musuh
bersama meskipun tetap mereka pilih dan mereka turut berpesta dalam sebuah
hajat besar yang bernama demokrasi. Seakan tak pernah merasa jera, meski
berulang kali tertipu,ditipu dan bahkan menipu namun siklus itu tetaplah
berputar layaknya rolecoster yang dikemudikan oleh keserakahan. Sehingga hujatan
dari berbagai pihak dianggap sebagai bagian dari permainan itu, bagian dari
perputaran roda politik.
Miris mendengar tuding –menuding dalam
setiap masalah namun selalu berebut angkat tangan hingga angkat bicara jika berbicara
masalah keadilan. Meskipun suara itu Nampak tegas dan lantang itu hanya
terhenti sampai disitu hanya sebagai dongkrak popularitas dalam skema politik
pencitraan yang hendak dibangun demi hajat lusa nanti. Orator zaman kini tak bias
dimasakan dengan orator masa Soekarno, Cokroaminoto bahkan Hitler yang ucapanya
bagaikan dewa yang berkehendak mampu menyihir jutaan masa untuk bergerak tunduk
bahkan patuh dalam bentuk kesadaran yang tergugah. Atau dalam falsafah jawa
diidentifikasikan layaknya ‘sabdo pandito ratu” meskipun muatan
politik legitimasinya kuat namun yang pasti apa yang diucapkanya harus terjadi
dan benar. Sehingga rakyat akan mendengarkan dengan seksama dan diijinkan untuk
menaruh harapan besar akan impian yang besar juga.
Bandingkan dengan para orator
kini! Semua pemimpin mempunyai bakat orasi atau bahkan hobi bagi mereka. Benar salah,
terwujud tidak, janji atau bualan, harapan atau tipu muslihat semuanya dikemas
dengan rapi dalam untaian kata yang manis bagaiakan madu namun pahit bagaiakan
racun terserah pada siapa yang mampu menafsirkanya. Jika musimnya tiba semua
akan bergelora. Jutaan janji mengalir deras hamper membanjiri telinga setiap
masyarakat diseluruh penjuru negeri ini dari yang tidak tahu apa –apa , yang
benar-benar tahu hingga yang hanya sok tahu semua menikmati kicauan para
petualang politik kita. Rakyat sebenarnya mengerti akan bualan itu namun
rusaknya paradigm rakyat yang terlanjur terjerat dalam lingkaran pragmatis juga
tergerak untuk menikmati yang sekarang bias dinikmati dengan mengesampingkan
masa depan. Dan ini sudah parah! Akhirnya tiba pada datangnya masa depan yang
tidak sesuai dari awalnya rakyat kembali gelisah. Hujatan, makian, kritikan
dilacurkan dijalan-jalan, warung kopi hingga hiburan malam membicarakan
kelakuan para pemimpin negeri ini yang justru dulu dipilihnya. Siapa yang
hendak disalahkan? Apa kata hati para penyeleweng kekuasaan tersebut? Bukankah kebahagianmu
telah kubayar dimuka, kenapa kalian menuntutnya sekarang. Mungkin itu yang ada
dalam benak merek. Sehingga tangisan dan jeritan rakyat hanya selayaknya
kicauan burung parau yang kelaparan. Sungguh miris!
Jiwa kesatria itu sudah pudar,
rasa tanggungjawab dengan segala bentuknya itu sudah luntur dari sanubari! Keadilan
itu layaknya barang mewah yang hanya mampu dibeli dan dinikmati oleh mereka
yang punya uang. Rakyat hanya mampu menonton sambil berharap kapan tiba saatnya
bagi mereka untuk menikmati meski hanya sekedar bekas pakai itupun jauh dari
angan. Kembali berharap kepada munculnya jiwa-jiwa kesatria buakn semudah
mengharapakn “Sang Satria Baja Hitam” atau sesulit mengharapkan “Sang
Satriyo Piningit”! karena harapan itu ada pada diri kita , keluarga
kita dan orang-orang yang ada di sekitar kita! Tanamkan jiwa kesatria itu dalam
lingkungan kita! Mari kita mulai bersama! Maka impianmu akan terjawab dalam
hitungan waktu!
Komentar
Posting Komentar