"Pengangguran itu sejak zaman penjajahan"
"Pengangguran itu sejak zaman penjajahan"
A.
Pengangguran
sector ekonomi formal
Pengangguran
dari sektor ekonomi formal di perkotaan dapat terselamatkan dari depresi
ekonomi karena mereka mampu mencari pekerjaan-pekerjaan alternatif dalam sektor
formal meskipun pekerjaan itu tidak membutuhkan keterampilan dan upahnya kecil.
Masa depresi tidak hanya menyebabkan peningkatan jumlah taksi di jalan-jalaan
Surabaya yang menurunkan tarif sewanya. Sehingga pemilik awalnya para pengusaha
Eropa dan Cina meninggalkan bisnis tersebut. Hal ini menjadi peluang bagi
pengusaha Indonesia untuk memegang alih bisnis tersebut. Penurunan mobilitas
pekerja terlatih di kota menyebabkan kehidupan di kota menjadi lebih sulit
untuk para pendatang sirkuler. Perang Dunia I yang menyebabkan kekurangan buruh
di Eropa sehingga semakin memeperparah depresi ekonomi sehingga para pekerja
Indonesia dipekerjakan dengan gaji yang sangat rendah dibandingkan dengan gaji
orang Eropa dan Cina. Rendahnya biaya buruh Indonesia yang mampu menempati
tenaga kerja administratif, mampu menggesar tenaga kerja Eropa dan Cina
sehingga menimbulkan pengangguran bagi mereka. Hasilnya komposisi etnis pada
1930-an mengalami penurunan.
Muncul
para pekerja rumah pegadaian yang menjadi tempat bertahan para pekerja lususan
sekolah barat meskipun kurang menyenangkan namun pekerjaan ini menjadi pilihan
karena lebih dihargai, lebih bersih dari pada para pekerja pabrik. Muncul kasus
dimana para pekerja rumah pegadaian pada watchtgeld
dipaksa untuk bekerja sebagai penjaga,agen polisi atau jasa bea cukai. Jika mereka
menolak akan kehilangan watchtgeldnya.
Meskipun dijelaskan bahwa para pekerja rumah pegadaian tidak bias diharapkan
untuk pekerjaan terebut mekipun sedang dalam kondisi depresi ekonomi sekalipun.
Para pekerja Indonesia yang terdidik menempatkan dirinya berbeda dengan para
buruh, dan ini menjadi pembatas yang penting bagi gerakan pekerja tahun 1920.
Situasi kaum pekerja di Surabaya tahun 1931 yang mengurangi jumlah tenaga kerja
hingga ribuan, namun bagi seorang pegawai kantor buruh mampu mencari pekerjaan
lain meskipun dengan gaji yang lebih rendah.
B.
Survei
terhadap para pengangguran di Indonesia
Berdasarkan
survei yang dilaksanakan masalah pengangguran di empat kota besar Indonesia
seperti Batavia, Bandung, Semarang dan Surabaya pada tahun 1931 terbagi dalam 3
kategori yaitu : pekerja pabrik, buruh sementara dan orang sekolahan. Survey
tersebut tidak menggambarkan apapun mengenai kekurangan pekerjaan, jumlah orang
yang memiliki penghasilan dari kampung maupun kota yang lebih besar, tidak
menggambarkan mereka yang belum pernah bekerja dalam sektor formal. Metode
dalam survei tersebut meremehkan besarnya pengangguran dan kemiskinan.
Berlainan dengan data yang dikemukakan oleh Pers yang langsung mewawancarai
para para pekerja dan pengangguran dan mensurvei kampung sehingga memunculkan
laporan yang berbeda dari laporan resmi. Laporan yang berbeda disebabkan karena
adanya ketakutan ketika para polisi melakukan interogasi, sehingga mereka
menjawab yang baik. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah kolonial terbatas
kemampuanya untuk menembus kampong-kampung di Indonesia pada masa depresi
ekonomi.
Namun
survey di atas telah mampu menyajikan data yang penting tentang bagaimana
masyarakat Indonesia dalam sektor formal dari masyarakat perekonomian kota
dalam menghadapi depresi ekonomi. Contohnya bahwa kebanyakan pengangguran di
Batavia tinggal di rumah sendiri atau keluarga, bagi yang mengontrak mendapat
perlakuan simpatik jika tidak mampu membayar sewa. Dan bagi mereka yang
kehilangan pekerjaan memilih pulang kampung karena tidak merasa penduduk tetap
kota. Pengangguran yang besar juga terjadi di Tanjung Priok, dimana para
majikan pelabuhan mengurangi jumlah buruh mereka. Meskipun mereka hanya buruh
harian namun mereka telah bekerja tetap berbulan-bulan dalam satu tahun. Mereka
kebanyakan berasal dari kampung untuk bekerja di dermaga sehingga ketika
dipecat mereka pulang kekampung. Para pengusaha pelabuhan mengambil buruh dari
satu sektor kampung, seperti contohnya Uni kampong yang sebelum masa depresi
memiliki 2.400 pekerja dan ketika dilanda depresi ekonomi tinggal 1500.
Kantor
buruh juga menyelidiki secara tertutup pemecatan skala besar di Surabaya.
Survei ini menunjukan bhwa kota Surabaya merupakan kota industri yang besar
dengan proporsi buruhnya yang tinggi sebagai pekerja di pabrik-pabrik dan
bengkel. Pemecatan dilakukan salah satunya karena perusahanya tutup dengan
alasan pemindahan area Industri untuk mendapatkan upah tenaga kerja yang lebih
murah. Seperti contohnya The Britis American Compani yang pindah kedaerah
cilegon. Sehingga para pekerja yang dipecat memilih profesi memotong padi di
sawah di luar Surabaya, sebagian juga sebagai pemotong tebu meskipun dalam
praktiknya mereka mengalami kendala dalam urusan upah. Kehilangan tenaga
terlatih menyebabkan perusahaan akhirnya mengalami kesulitan mendapatkan tenaga
kerja sementara, karena para pekerja pulang ke desa. Laporan ini bertentangan
dengan laporan lain yang memilih untuk tetap tinggal di perkotaan. Laporan yang
sama juga terdapat di Bandung pada tahun 1931 menyatakan pekerja terlatih
memilih pulang ke desa. Agak mirip dengan di semarang dimana para pengangguran
yang pulang sebanding dengan buruh yang datang ke kota dan menganggap dirinya
sebagi penduduk kota dari pada memilih tinggal di desa.
Survei
terakhir tentang pengangguran kota terbit pada oktober tahun 1932 yang
menyajikan relasi yang jelas antara kota dengan desa di Jawa selama masa
depresi. Fokus dari survey ini untuk pengangguran di Tangerang yang sebelum
masa dpresi menyuplai 5.400 tenaga kerja baik harian maupun tetap. Mengalami
pengurangan, pada tahun 1931 menjadi 3.600 dan pada tahun 1932 menjadi 2.650.
dalam laporan tersebut juga mensurvei pekerja bengkel kereta api di Madiun yang
memecat 500 tenaga kerjanya. Menyebabkan beberapa dari mereka pergi ke
Surabaya, pulang ke desa atau menetap di Madiun.
C.
Upaya
Pemerintah terhadap Pengangguran
Menyikapi
pengangguran massal di Indonesia saat itu pemerintah merespon dengan melakukan
program transmigrasi. Hal ini membedakan bentuk perlakuan dari pemerintah
terhadap pengangguran lokal dan pengangguran di kota dari perlakuanya, dimana
perlakuan terhadap pengangguran kota layaknya orang Eropa. Dengan dibentuknya
komite-komite sentral di Batavia di bawah kontrol kaum buruh untuk menangani
pengangguran lokal terutama di Jawa. Komite ini anggotanya didominasi oleh Indonesia Eropa yang terdiri dari para
pejabat tinggi sebagai pengawas bagi sub komite.
Sebagian
besar dari komite ini mengumpulkan dana melalui pasar, pesta dansa dan lotere.
Di Bandung anak sekolah wajib menyisakan uang sakunya beberapa sen untuk
dikumpulkan bagi para pengangguran. Di Blitar komite mendirikan bengkel sepeda
sebagai sumber dana, sehingga ada beberapa pengangguran yang dapat pekerjaan.
Di Semarang mampu mendirikan pabrik rokok. Komite-komite lainya mengupayakan
kursus-kursus singkat untuk meningkatkan ketrampilan pengangguran di Indonesia.
Seperti kursus montir, elektronika dan juru stenograf. Kursus tersebut
disubsidi oleh pemerintah sebesar 230 gulden perbulan untuk para muridnya yang
mampu.
Banyak
juga organisasi-organisasi kesejahteraan yang perhatian terhadap pengangguran
di Indonesia. Diantaranya adalah, Bala Keselamatan, Gereja Katolik untuk Kaum
Muda , Masyarakat Hindia untuk Pengangguran Perorangan dan Dana Penolong Pengangguran
karena Krisis Gula. Berbagai cara mereka upayakan, seperti pendirian asrama
bagi para pengangguran di kota oleh AWJ. Dana Penolong Industri gula memberikan
bantuan sebesar 2 gulden /bulan. Untuk komite pendukung pengangguran yang di
dominasi orang eropa terjadi sedikit masalah dimana orang pribumi tidak mau
menyumbang secara finansial.
Komentar
Posting Komentar